Sabtu, 24 Desember 2011

ADAT BUDAYA SUKU BATAK KARO

ADAT BUDAYA SUKU BATAK KARO

SILIMA MERGA


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg_9JW6U6Y3ePSGTGnuCLEvf4d7_cPooggpguaI-TpHlYQpPKM_jY0dQjI4YjOjcjZjdE4J2OmoGJG5ZUr60genq2TukpVq1m0cAhLVpdC6LBN-kw62KHtiuBIvD-JMMx0X_2TPShf_fwYU/s200/Aksara+Karo.png

Masyarakat Karo mengenal penanggalan hari dan bulan serta pembagian waktu siang dan malam hari. Satu bulan dibagi dalam 30 hari dan satu tahun dibagi dalam 12 bulan dan masing-masing ada namanya. Adapun nama-nama hari dalam satu bulan adalah sebagai berikut :
1. Aditia
2. Suma Pultak
3. Nggara
4. Budaha
5. Beraspati pultak
6. Cukera enem berugi
7. Belah naik
8. Aditia baik
9. Sumana siwah
10.Nggara sepuluh
11.Budaha ngadep
12.Beras pati tangkep
13.Cukera dudu
14.Belah Purnama
15.Tula
16.Suma cepik
17.Nggara enggo tula
18.Budaha Gok
19.Beras pati sepuluh siwah
20.Cukera dua puluh
21.Belah turun
22.Aditia turun
23.Suma
24.Nggara simbelin
25.Budaha medem
26.Beras pati medem
27.Cukera mate
28.Mate bulan
29.Dalan bulan
30.Samis

Adapun jumlah bulan untuk satu tahun dihitung dengan dua belas.
Nama-nama bulan dan hewan atau benda apa yang bersmaan dengan bulan itu adalah sebagai berikut :
1. Sipaka sada ( kambing )
2. Sipaka dua ( lampu )
3. Sipaka telu ( gaya = cacing )
4. Sipaka empat ( kodok )
5. Sipaka lima ( arimo = harimau )
6. Sipaka enem ( kuliki = elang )
7. Sipaka pitu ( kayu )
8. Sipaka waluh ( tambak = kolam)
9. Sipaka siwah ( gayo = kepiting )
10.Sipaka sepuluh ( baluat )
11.Sipaka sepuluh sada ( batu )
12.Sipaka sepuluh dua (nurung = ikan)

Pembagian waktu dalam sehari atau waktu siang hari dibagi menjadi 5 waktu :
1. Erpagi – pagi ( 06.00 – 09.00 )
2. Pengului (09.00 – 11.00 )
3. Ciger (11.00 - 13.00 )
4. Linge (13.00 - 15.00 )
5. Karaben ( 15.00 – 18.00 )

Untuk malam hari dikenal istilah :
1. Erkata pepet ( 18.00 – 19.00 )
2. Elahman ( 19.00 - 24.00 )
3. Tengah berngi ( 24.00 - 01.00 )
4. Tekuak manok sekali ( 03.00 – 04.00 )
5. Tekuak manok pedua kaliken ( 04.00 – 06.00 )

Masyarakat Karo juga mengenal mata angin atau disebut “ Penjuru bumi “ dan dibagi delapan, sama dengan mata angin yang kita kenal selama ini, yaitu :
1. Pustima – Barat
2. Purba – Timur
3. Utara – Utara
4. Daksina – Selatan
5. Mangabia – Barat Laut
6. Aguni – Tenggara
7. Iresen – Timur Laut
8. Nariti – Barat Daya

AKSARA KARO

Huruf (aksara) kari terdiri atas 21 huruf induk utama ditambah sisipan “ Ketelengan “ dan lain-lain. Aksara Karo ini digunakan untuk menuliskan bahan ramuan obat, mantra ilmu-ilmu gaib , ilmu tenun dan cerita-cerita. Umumnya tulisan itu dibuat pada kulit kayu, bambu dan tulang hewan. Jadi induk huruf terdiri dari dua huruf pada tulisan dan bunyi latin. Huruf –huruf Karo semuanya berbunyi akhir dengan “a”, kecuali pada induk “i” dan “u” .

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg_9JW6U6Y3ePSGTGnuCLEvf4d7_cPooggpguaI-TpHlYQpPKM_jY0dQjI4YjOjcjZjdE4J2OmoGJG5ZUr60genq2TukpVq1m0cAhLVpdC6LBN-kw62KHtiuBIvD-JMMx0X_2TPShf_fwYU/s200/Aksara+Karo.png

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjOP6SQbPlW0rNFyOQ2M_shSEyKWd2Edy5ESeidJFK5jJzmVysK4oq_UgqlDsKTpmc-zdKKA9aFwpAwQuxQ3oO0l2WvakImeaUGMcMsDjo71X5bcOA6YUG4MZmHTycGv49ZHWhOEznOUGR3/s200/budayakaro.jpg
Segolongan kecil dari masyarakat Karo, terutama dari kaum wanita, pekerjaannya ialah menenun kain di mana dapat dihasilkan berbagai jenis, mulai dari halus sampai kasar. Adapun nama-nama dari jenis kain yang ditenun adalah :

Hasil Tenunan
Ulos, kain yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari dalam adat Batak.
Kain gatip, digunakan untuk selimut dan sarung pada upacara adat bersama dengan “julu” dan “ kelam-kelam” yang dilipat, dapat pula dijadikan tudung.
Julu.
Uis Gara, dipakai untuk selimut bagi kaum pria dan wanita, juga sebagai tudung harian wanita.
Uis Nipes, dipergunakan untuk upacara adat bagi kaum wanita maupun pria. Kaum pria umumnya melilitkannya di kepala atau membentuk segitiga digantungkan di tengkuk dengan kedua ujungnya di kiri kanan leher. Sedangkan perempuan memasangkannya sebagai bagian dari variasi pakaian adat pada upacara tertentu.
Uisteba, digunakan dalam upacara adat dan kepercayaan.
Uis arinteneng, digunakan dalam upacara adat. Misalnya sebagai alas piring pada penyerahan uang mahar atau hantaran bagi mereka yang diselamati.
Kelam-kelam, dipakai untuk sarung anak-anak dan alat lapis tudung wanita.
Abit atau kampoh, digunakan untuk sarung sehari-hari dan selimut.

Hasil Anyaman
Kaum wanita ( gadis sampai yang berusia lanjut ) banyak yang bekerja menganyam dengan menggunakan sejenis pohon “bengkuang”, “ketang” dan “cike”, sedang pria menganyam dengan
belahan-belahan bambu dan rotan.

Alat-alat keperluan dapur
Umumnya terbuat dari kayu, bambu, rotan , tanah dan tembaga antara lain :
•Kudin taneh ( periuk memasak sayuran )
•Belanga ( kuali )
•Renceng ( periuk nasi )
•Gelang-gelang (periuk nasi )
•Capah ( piring kayu),dll

Alat penangkap hewan dan ikan
Orang Karo membuat alat penangkap hewan dan ikan terbuat dari bambu, kayu, lidi, ijuk, dan besi, antara lain :
•Ragum ( penangkap tikus dari bahan kawat dan besi )
•Kawil ( kail dari kawat )
•Tuktak dan siding ( penangkap tikus, burung dan ular yang terbuat dari kayu dan bambu),dll.

Alat senjata keperluan sehari-hari
•Sekin ( parang )
•Rawit ( pisau )
•Sabi-sabi ( arit)
•Ketam ( alat pemotong padi )
•Cuan (cangkul )
•Bekong ( beliung )
•Tarah-tarah ( sejenis parang )
•Kapak ( kampak )
•piso surit (sejenis belati
•piso gajah dompak (sebilah keris yang panjang)
•hujur (sejenis tombak)
•podang (sejenis pedang panjang).,dll
http://img1.blogblog.com/img/icon18_email.gif










https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgCe3qEUhrXNen8hCLoBF-bSbHppui9xzNreW31j6MEfPmgoCj0QN8Wg9EmvyZxdvH-nNCFw_FLlwCnBnbfisbrRH0URIfjw7l9RzWUExcdJv7mM28VDJYUwuQ91Ekh_lwoYwPrQHnK1TRC/s200/Si+Waluh+Jabu.jpg

Rumah adat orang Karo ini biasanya didiami oleh 8 kepala keluarga (ada juga 16 kepala keluarga), seperti Rumah “empat ture” (empat sisi pintu muka) di kampung Batukarang, Tanah Tinggi Karo. Tinggi rumah adat ini sekitar 30 meter, beratapkan ijuk dan pada tiap muka dari atapnya dipasang tanduk kerbau. Rumah dengan panjang kurang lebih 16 meter dan lebar 10 meter di mana dipasang belahan kayu besar dengan tiang-tiang kayu yang berukuran diameter 60 cm, dinding bagian bawah agak miring kurang lebih 30 derajat, disertai ukiran-ukiran di sepanjang bagian dinding dan lain sebagainya yang agak rumit diertai pula pemasangan tali-tali ijuk di sepanjang dinding itu yang menggambarkan sejenis binatang melata seperti cicak. Pembuatan dari rumah adat ini sendiri pun memakan waktu lama, sekitar satu sampai empat tahun. Pembuatannya dirancang oleh arsitektur kepala yang disebut ”pande tukang

Pada masyarakat Karo terdapat suatu rumah yang dihuni oleh beberapa keluarga, yang penempatan jabu-nya didalam rumah tersebut diatur menurut ketentuan adat dan didalam rumah itu pun berlaku ketentuan adat, itulah yang disebut dengan rumah adat Karo. Rumah adat Karo ini berbeda dengan rumah adat suku lainnya dan kekhasan itulah yang mencirikan rumah adat Karo. Bentuknya sangat megah diberi tanduk. Proses pendirian sampai kehidupan dalam rumah adat itu diatur oleh adat Karo.

Berdasarkan bentuk atap, rumah adat karo dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
a. Rumah sianjung-anjung
Rumah sianjung-anjung adalah rumah bermuka empat atau lebih,
yang dapat juga terdiri atas sat atau dua tersek dan diberi
bertanduk.

b. Rumah Mecu.
Rumah mecu adalah rumah yang bentuknya sederhana, bermuka
dua mempunyai sepasang tanduk.


Sementara menurut binangun, rumah adat Karo pun dapat dibagi atas dua yaitu:
a. Rumah Sangka Manuk.
Rumah sangka manuk yaitu rumah yang binangunnya dibuat dari balok tindih-menindih.

b. Rumah Sendi.
Rumah sendi adalah rumah yang tiang rumahnya dibuat berdiri dan satu sama lain dihubungkan dengan balok-balok sehingga bangunan menjadi sendi dan kokoh. Dalam nyanyian rumah ini sering juga disebut Rumah Sendi Gading Kurungen Manik. Rumah adat Karo didirikan berdasarkan arah kenjahe (hilir) dan kenjulu (hulu) sesuai aliran air pada suatu kampung.


Jabu dalam Rumah Adat
Rumah adat biasanya dihuni oleh empat atau delapan keluarga. Penempatan keluarga-keluarga itu dalam bagian rumah adat (jabu) dilakukan berdasarkan ketentuan adat Karo. Rumah adat secara garis besar dapat dibagi atas jabu jahe (hilir) dan jabu julu (hulu). Jabu jahe terbagi atas jabu bena kayu dan jabu lepar benana kayu. Demikian juga jabu kenjulu dibagi atas dua, yaitu jabu ujung kayu dan jabu rumah sendipar ujung kayu. Inilah yang sesungguhnya disebut sebagai jabu adat. Rumah-rumah adat empat ruang ini dahulunya terdapat di Kuta Buluh, Buah Raja, Lau Buluh, Limang, Perbesi, Peceren, Lingga, dan lain-lain.

Ada kalanya suatu rumah adat terdiri dari delapan ruang dan dihuni oleh delapan keluarga. Malahan kampung Munte ada rumah adat yang dihuni oleh enam belas keluarga. Dalam hal rumah adat dihuni oleh delapan keluarga, sementara dapuar dalam rumah adat hanya ada empat, masing-masing jabu dibagi dua, sehingga terjadilah jabu-jabu sedapuren bena kayu, sedapuren ujung kayu, sedapuren lepar bena kayu, dan jabu sedapuren lepar ujung kayu.

Adapun susunan jabu dan yang menempatinya adalah sebagai berikut:
1. Jabu Benana Kayu
Terletak di jabu jahe. Kalau kita kerumah dari ture jahe, letaknya sebelah kiri. Jabu ini dihuni oleh para keturunen simantek kuta (golongan
pendiri kampung) atau sembuyak-nya.
Fungsinya adalah sebagai pemimpin rumah adat.

2. Jabu ujung Kayu (anak beru)
Jabu ini arahnya di arah kenjulu rumah adat. Kalau kita masuk kerumah adat dari pintu kenjulu, letaknya disebelah kiri atau diagonal dengan letak jabu benana kayu. Jabu ini ditempati oleh anak beru kuta atau anak beru dari jabu benana Kayu. Fungsinya adalah sebagai juru bicara jabu bena kayu.

3. Jabu Lepar Benana Kayu
Jabu ini di arah kenjahe (hilir). Kalau kita kerumah dari pintu kenjahe letaknya disebelah kanan, Penghuni jabu ini adalah sembuyak dari jabu benana kayu. Fungsinya untuk mendengarkan berita-berita yang terjadi diluar rumah dan menyampaikan hal itu kepada jabu benana kayu. Oleh karena itu, jabu ini disebut jabu sungkun berita (sumber informasi)

4. Jabu lepar ujung kayu (mangan-minem)
Letaknya dibagian kenjulu (hulu) rumah adat. Kalau kita masuk dari pintu kenjulu ke rumah adat, letaknya di sebelah kanan. Jabu ini ditempati oleh kalimbubu jabu benana kayu. Oleh karena itu, jabu ini disebut jabu simangan-minem. Keempat jabu inilah yang disebut dengan jabu adat, karena penempatannya harus sesuai dengan adat, demikian juga yang menempatinya ditentukan menurut adat. Akan tetapi, adakalanya juga rumah adat itu terdiri dari delpan atau enam belas jabu.


5. Jabu sedapuren benana kayu (peninggel-ninggel)
Jabu ini ditempati oleh anak beru menteri dari rumah si mantek kuta (jabu benana kayu), dan sering pula disebut jabu peninggel-ninggel. Dia ini adalah anak beru dari ujung kayu.

6. Jabu sidapuren ujung kayu (rintenteng)
Ditempati oleh sembuyak dari ujung kayu, yang sering juga disebut jabu arinteneng. Tugasnya adalah untuk engkapuri belo, menyerahkan belo kinapur (persentabin) kepada tamu jabu benana kayu tersebut. Oleh karena itu, jabu ini disebut juga jabu arinteneng.

7. Jabu sedapuren lepar ujung kayu (bicara guru)
Dihuni oleh guru (dukun) atau tabib yang mengetahui berbagai pengobatan. Tugasnya mengobati anggota rumah yang sakit.

8. Jabu sedapuren lepar benana kayu
Dihuni oleh puang kalimbubu dari jabu benana kayu disebut juga jabu pendungi ranan. Karena biasanya dalam runggun adat Karo persetujuan terakhir diberikan oleh puang kalimbubu.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhLZVwDWKbi0h7mOxSALiCNcDGV2LFC2LchWqCghoTJf2TIqA0vtK4TE1xFk1o8OlPgC7-tdbl1tdHnI0FFbwQqXjEpwDUGrh7qxXEm0yip8-HeaJthhXq5Z0_MIA1k3FF-JMSq5JciEtxW/s200/Karonese.jpg

Percintaan masyarakat Karo tempo dulu sangat unik. Tempo dulu yang dimaksudkan disini adalah masa dimana rumah adat Karo masih ada sebelum dibumihanguskan di zaman revolusi tahun 1947. Tentu saja tidak seperti zaman sekarang yang kesemuanya begitu mudah. Gaya bercinta masyarakat Karo dahulu begitu penuh liku-liku. Segala perjuangan untuk mendapatkan jantung hati harus secara gigih dengan berbagai ketentuan adat sebagai hukum tak resmi.

Seorang pemuda yang telah dewasa disebut anak perana. Dikatakan anak perana jika ia sudah berhak mengenakan celana panjang (seluar gedang), sudah berhak tidur bersama pemuda lainnya di Jambur, sudah menjalankan sunat (kacip-kacip) dan sudah gerat-geraten (kelenjar hormon sudah ada). Sedangkan tanda-tanda seorang wanita telah dewasa dan disebut singuda-nguda apabila sudah datang bulan (ngidah bulan), sudah berhak menjadi anggota aron mbelin (sebelum dewasa biasanya ikut aron erlajar), sudah berhak mengikuti acara guro-guro aron, sudah bisa tidur bersama gadis-gadis lainnya.

Sudah menjadi adat dan kebiasaan dalam masyarakat Karo kalau di satu keluarga sudah ada anak perana atau singuda-nguda untuk secepatnya dinikahkan (erjabu). Sehingga jika si orang tua bertemu dengan anaknya tersebut maka pertanyaan yang selalu diajukan adalah kapan ‘erjabu’. Saking seringnya orang tua menanyakan pertanyaan tersebut maka biasanya si anak perana langsung pergi menghindar percakapan. Jadi ada indikasi di zaman dulu kalau anak perana dan singuda-nguda yang belum ‘erjabu’ jarang sekali berada di rumah. Paling ke rumah hanya untuk makan lalu pergi lagi agar bisa menghindari pembicaraan orang tuanya tentang ‘erjabu’ itu.

Orang-orang tua Karo mempunyai falsafah kalau anaknya belum ‘erjabu’ maka masih ada utang adat, menjadi pergunjingan di kuta bahkan dianggap aib keluarga. Jadi adat secara tidak langsung mengatakan orang tua Karo masih punya tanggung jawab selama anaknya belum dinikahkan. Kalau anak perana memang sudah berkeinginan untuk ‘empo’ (menikah untuk laki-laki) maka pertama kali ia akan melakukan “ngaras-ngaras” yaitu pergi ke kuta lain untuk mencari calon kekasihnya. Jika memang sudah ada wanita yang cocok maka si anak perana akan berusaha mengenalnya. Cara berkenalannya juga beragam ada secara bertutur, lewat teman dan lain sebagainya.

Setelah pemuda menjatuhkan pilihan pada gadis pujaannya maka dilaksanakan maka memasuki tahap naki-naki (pedekatan). Untuk saling mengungkap perasaan masing-masing mereka bertemu malam hari. Sebelum pemuda-pemudi dapat bertemu di ture (teras rumah adat), si pemuda berusaha mempengaruhi seorang ibu yang biasanya janda, dengan mempersembahkan belo sempedi agar perempuan ini bersedia menjadi perantara untuk mempertemukan dia dengan sang pujaan hati. Naki-naki dapat dilakukan oleh anak perana dari desa lain (tandang) atau dari desa yang sama dengan singuda-nguda. Jika dia berasal dari desa lain, sudah menjadi keharusan bagi anak perana itu untuk bergaul dengan anak perana desa setempat. Tujuannya, agar keamanan terjamin, dapat tidur di Jambur desa dan bisa memanfaatkan pemuda desa untuk kelancaran naki-naki yang dlakukannya.

Pertemuan paling ditunggu tentu saja di ture pada malam hari. Biasanya pertemuan itu mempergunakan bahasa Karo halus dan tinggi sekaligus untuk menunjukkan kebolehannya dalam berbahasa kiasan dan peribaratan. Untuk dapat memahirkan diri dalam sastra naki-naki ini, terkadang mereka berguru pada orang tua yang lebih berpengalaman. Sastra naki-naki disebut cakap lumat.

Sedikit contoh penggalan cakap lumat yang diambil cerita bersambung “Sibayak” karya Joey Bangun yang dimuat di tabloid Karo “Sora Mido.” :

“Enggo dekah kita la jumpa turang,” Santa Perkeleng mengawali pembicaraan. Betapa cantiknya gadis ini. Betapa aku luluh oleh daya tariknya, kata Santa Perkeleng dalam hati. Menda beru Sinulingga, wanita pujaannya itu sudah berada di hadapannya. Apakah ini mimpi, pikirnya lagi.

“Ue Mama,” Sahut Menda. Ia terlihat malu. Bagaimana tidak. Anak perana yang paling dipuja seluruh gadis di seluruh Tanah Karo berada di dekatnya.

“Turang, ma banci nge kita si oraten tutur lebe?” tanya Santa malu-malu. Dia tidak tahu bagaimana lagi harus memulai pembicaraan.

“Banci mama,” jawab Menda tak sanggup menatap wajah laki-laki dihadapannya.

“Beru apai dage kam?”

“Bagi sikukataken sanga kerja tahun mbarenda Mama. Aku beru Karo-karo Sinulingga.”

“Bere-berena ?”

“Bere Sembiring.”

“Adi bage erkai dage orat tuturta?”

“Kai kin mergandu?”

“Mergangku Bangun Tambar Malem.”

“Bere-berena?”

“Bere-bere Karo.”

“Adi bage erkai dage orat tuturta?”

“Adi la kam mehangke rimpal kuakap kita,” jawab Santa Perkeleng tersenyum pasti. Menda membalas dengan senyuman maha indah seolah tak satupun para dewi kahyangan yang sanggup mengalahkan peciremna.

“Engkai maka mehangke adi bage kin seharusna,” jawab Menda pula. Jawaban ini sungguh cipratkan kobaran semangat yang meledak tak tertahan dalam pusuh Santa.

“Piga kam sembuyak agi?” tanya Santa Perkeleng.

“Telu pe empatken ras kam,” sahut Menda malu-malu.

“Piga kam impal kami sidiberu?”

“Sada aku ngenca.”

“Sintua, sintengah, tah singuda kam ?”

“Aku sintua.”

“Kuh denga kin orang tuanta?” kata Santa Perkeleng. Matanya tidak lepas dari wajah manis Menda. Seolah dirinya tidak sudi melepas sedetikpun kesempatan paling berharga yang pernah dialaminya ini.

“Kuh nge orang tuanta tapi mesera-mesera kal,” jawab Menda. Sungguh ia tidak berani menatap lelaki yang dihadapannya ini. “Kam kaka piga kam sembuyak?”.

“Dua pe teluken ras kam.”

“Kam sintua tah singuda?”.

“Aku sintua e maka erkaka tua kam man bangku,” jawab Santa Perkeleng tersenyum.

“Ue kaka tua,” Menda membalas dengan menunduk tersenyum malu.

“Aku pe agi enggo bagenda sibetehen orat tututr kita mis kal meriah ukurku, e maka adi reh pagi aku ku kutandu, ula kam melewas man tandangen,” kata Santa.

“Labo kaka tua rehlah kam,” sahut Menda pasti. Jawaban Menda itu menambah kepastian pada Santa sungguh dia tidak bertepuk sebelah tangan.

“Adi bage mulih lebe aku agi. Matawari pe enggo ncidahken lasna,” sahut Santa Perkeleng mohon diri. Dia berdiri dan mulai membereskan barang-barangnya.

“Anjar-anjar kam kaka. Ertoto aku gelah seh kam ku kuta,” Menda berdiri dan membantu Santa membereskan barangnya. Kemudian dia menggulung tikar. Santa Perkeleng turun dengan tangga ture. Sampai di bawah dia berkata,” Bujur kerina turang. Lawes aku.”

Walaupun sepintas lalu pemuda-pemudi ini sedang diamuk asmara ini terlihat cukup bebas berduaan di ture pada malam hari. Adakalanya hingga pukul 3 atau 4 pagi, namun tidak boleh dilupakan bahwa dari dalam rumah keduanya tetap diawasi oleh orang tua si gadis. Agar jangan sempat terjadi hal-hal yang melanggar susila. Dialog mereka juga tetap diikuti dari dalam rumah oleh si orang tua. Tujuannya agar si gadis dapat dididik dalam melawan cara bicara si pemuda.

Pertemuan naki-naki ini memakan waktu cukup lama bahkan sampai bertahun-tahun. Pada masa inilah keduanya saling mengenal secara pribadi tentang sifat-sifat dan karakter masing-masing. Untuk lebih memikat hati si gadis pilihannya sekaligus menarik simpati pihak si gadis, maka waktu tanaman padi orang tua si gadis sedang mulai berbulir (rumpah), si anak perana melakukan pekerjaan ngkalaki di juma calon mamana (orang tua si gadis). Ngkalaki artinya membuat orang-orangan untuk menakut-nakuti burung di ladang termasuk pantar/batar-batar, belobo gurung-gurung kuda atau siambir-ambiri.

Pekerjaan ini dilakukan pada malam hari dan di kala terang bulan. Bisa memakan waktu satu malam. Jika demikian, si anak perana akan meminta bantuan tenaga dari teman-teman anak perana lainnya. Kalau perlu juga bantuan dari anak berunya. Pagi harinya pada waktu si gadis atau ibunya bermaksud menghalau burung di ladang, dia akan terkejut melihat ladangnya sudah selesai ikalaki. Hal ini akan diselidiki orang tua si gadis siapa gerangan yang melakukan pekerjaan itu. Ketika mereka mengetahui siapa yang melakukan itu tentulah si anak perana menjadi pertimbangan.

Selama proses naki-naki ini berlangsung, bisa juga muncul saingan atau timbang kayo. Suatu hal yang lumrah terjadi sepanjang masa, terjadi kompetisi antara dua atau lebih anak perana. Baik kompetisi sehat maupun tidak sehat. Setelah keduanya saling mengenal betul dalam sifat, karakter, keturunan dan akhirnya sampailah keduanya pada satu kesimpulan untuk membentuk rumah tangga melalui perkawinan.

Percintaan Karo tempo dulu memang unik. Berhubung transportasi nyaris tidak ada, perjuangan berjalan ke kuta sang pujaan hati terkadang memakan waktu berhari-hari. Perjuangan ini pula yang menghantarkan masyarakat Karo pada keagungan cinta dalam tataran adat sangkep nggeluh. Sehingga di zaman dahulu jarang sekali terjadi perceraian.

Percintaan Karo tempo dulu kiranya bisa menjadi bahan pembelajaran bagi kita dalam bertutur dan menghargai perjuangan cinta yang tidak ternilai dalam hidup.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhsleftfQgBykuHMu2qIi7UtCqW-XyPoJz2D39Zx4hRmdZNfXO-JLShGiFc5TkD1MQ4bDk-3l-mREXDtjy2J7HfnF8sFmFBaOMlG2OtjC1KFGWZMmwpmOhp16Xn672CfJ8bmaxzm9Ov4cN0/s200/Upacara+Tradisi+Karo+Tahun+1970.jpg

Buah huta-uta, yang biasanya merupakan batang buah pohon besar didekat desa, yang dipercayai ditunggui oleh tenaga gaib yang dikeramatkan. Pada waktu-waktu tertentu diadakan upacara persembahan yang disertai gendang sarune (gong, serunai, pengual) di mana “Guru Sibaso” berperan penting di situ.
Galoh, adalah satu tempat tertentu berupa persembahan yang ditanami
kalinjuhang, sangka sampilet, galoh si tabar, tabar-tabar, besi-besi, kapal-kapal dan ambatuah, dilingkari pagar bambu berdiameter lebih kurang 4 meter.
Silanen, adalah batu besar yang letaknya tidak begitu jauh dari desa.
Biasa orang menaruh sesuatu sebagai sesajen di atas batu ini sambil
menyampaikan keinginannya.
kapal dan ambatuah, dilingkari pagar bambu berdiameter lebih kurang 4
meter.
Adapun upacara-upacara ritual yang dilakukan orang Karo :
  1. Perumah Begu, yaitu upacara pemanggilan arwah seseorang yang sudah meninggal melalui guru sibaso (dukun)
  2. Ndilo tendi, upacara ini dilakukan apabila ada seseorang yang terkejut akan suatu kejadian, baik karena penglihatan, pendengaran atau jatuh, hanyut,dll. Di mana tendi tersebut akan meninggalkan tubuhnya karena terkejut.
  3. Nengget, adalah upacara yang ditujukan kepada pasangan suami istri yang setelah sekian tahun berumahtangga namum belum memiliki anak.
  4. Ngarkari, ialah upacara menghindari suatu kemalangan yang dialami oleh suatu keluarga di mana guru sibaso berperan penting.
  5. Perselihi, ialah upacara pengobatan suatu penyakit atas diri seseorang, di mana untuk menghindari penyakit menjadi lebih berbahaya.
  6. Ngulakken, ialah suatu upacara agar penyakit yang menyerang seseorang karena dibuat sengaja oleh orang lain hilang. Dan kalau bisa penyakit tadi dipantulkan kembali ke si pembuatnya.
  7. Erpangir Ku Lau, adalah untuk membersihkan diri seseorang atau keluarga secara keseluruhan, menghilangkan kesulitan, malapetaka dan lainnya.
  8. Ndilo Wari Udan, memanggil turunnya hujan kepada Tuhan agar musim kemarau diganti musim hujan.
  9. Ngeluncang, ialah upcara ritual untuk mengusir segala pengganggu seperti roh halus agar desa tersebut terhindar dari penyakit atau malapetaka.
  10. Njujungi Beras Piher, adalah satu upacara yang isinya berupa ucapan selamatan dan DOA AGAR ORANG TERSEBUT DAPAT DIBERIKAN KETEGUHAN IMAN DAN LAIN-LAIN.


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjMtISs3SrX4ZSBevH93e6QKnYulHjpAP9lMsyaZ76w7Mu_vGL-2utk2fnn627NwNQiG3KWEQd2IKEzY_GZFpELC540f68jj2RhEt-wXH45-UhRe6RDpbBlqM7mMowE4wu5J4AoyrSdyLMW/s200/sinabung-jaya.png

Laki Eget Permotor, Seorang pemuda Karo bernama Jem Tarigan Sibero atau di suku Karo disebut Pa Rasmi (kemudian disebut “Laki Eget” karena ada kisah/ceritanya), terlahir di Desa Kidupen, Kecamatan Juhar di tahun 1924. Anak semata wayang pasangan Nerusi Tarigan Sibero dan Terangka br Ginting Jadibata dan cucu pertama dari Malem Tarigan dan Seh Ate br Ginting Tumangger. Mengawali kanak-kanaknya dan sekolah rakyat (vervolg school) di sana, hingga akhirnya (tidak tamat) dan menyusul rombongan ayahnya yang manteki kuta ke Lau Beski (sekarang jadi Lawe Desky di Aceh Tenggara) di tahun 1927.

Waktu itu (konon) tidak lebih dari 10 kelompok pengelana ke wilayah Barat Karo dan akhirnya menghentikan langkah di dataran rendah yang penuh dengan pohon beski (sejenis rumput?), hingga dinamakan Kuta Lau Beski yang sekarang masuk Kabupaten Aceh Tenggara Povinsi Nangroe Aceh Darussalam. Keluarga kami “Tarigan” adalah anak beru kuta di Lau Beski, kalimbubunya atau kalimbubu kuta dari kelompok Sembiring Meliala. Sekarang Lawe Desky berkembang menjadi 3 Desa (Lawe Desky I ““dulu Lawe Desky Kampung Karo-, Lawe Desky Tonga, dan Lawe Desky Sabas), tak hanya dihuni orang-orang dari Dataran Tinggi Karo atau Taneh Karo, berbagai suku-bangsa tinggal bersama dengan suasana damai dan telah menjadi Kecamatan Babul Makmur yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Lau Pakam, Kabupaten Karo.

Revolusi perjuangan, menghantarkan Laki Eget menjadi prajurit di jajaran BKR, (Barisan Keamanan Rakyat) namanya juga pemoeda tak tamat sekolah, paling banter menduduki pangkat terendah dalam kesatuannya pada waktu itu. Tidak banyak rekannya yang tau kalau “Laki Eget” bergabung dalam keprajuritan dan kerjanya hanya “˜kesana kemari” entah untuk urusan apa, dia tak pernah mau cerita kepada kami.


Tapi, cerita tentang revolusi, rumah keluarga kami di Lau Beski saat itu menempati posisi strategis, tepat di kaki bukit rangkaian Bukit Barisan bagian selatan (bagian utaranya adalah Bahorok, Langkat), rumah Laki Eget waktu itu memang berada di posisi paling berneh kuta, (selatan desa) berdekatan dengan sungai (Lau Beski), memang sejauh mata memandang seolah menjadi pos jaga paling strategis.

Raungan pesawat terbang jalur Medan > Langkat > Lau Deski, biasanya agak sedikit kesulitan mencapai rumah laki, karena membahayakan penerbangan. Sementara rumah lain dibombardir mortir, rumah kami selamat, dan juga menyelamatkan aset Republik, persenjataan, amunisi dan persediaan makan tentunya.

Revolusi juga yang menghantarkan Mayor Selamat Ginting Suka ke wilayah Kuta Cane dan sempat nerehken seorang gadis beru Ginting (Nd Polen beru Ginting Tumangger – senina Iting Tengah kami) dengan seorang anggota prajuritnya bermarga Sembiring, romantisme revolusi. Secara administrasi negara, dalam darurat perang, pemerintahan juga memang dijabat oleh Pemerintahan Darurat Militer.

Konon, revolusi juga yang menghantarkan sebagian masyarakat Kidupen ke Lau Deski, sehingga di tahun 47-an komunitas Karo sudah banyak di desa tersebut. Beberapa waktu kemudian pertambahan penduduk juga mendorong pencarian lahan baru, waktu itu Laki Tengah (Ngunduk Tarigan) kelak Pa Kolam Tarigan) dan beberapa rekannya ke daerah Simpang Semadam dan Lawe Kinga. Selang beberapa waktu pernah juga terjadi pertikaian antar etnik, kelompok Karo waktu itu banyak bekerja sama dengan kelompok Alas. Itulah hidup.

Dari Prajurit jadi Permotor Deleng Pantar
Memasuki era kemerdekaan, khususnya dengan kebijakan rasionalisasi tentara dan laskyar, menghantar Laki Eget pada profesi baru, permotor. Sebagai anak tunggal, sekaligus cucu pertama, proposal permohonan dananya dengan mudah dipenuhi Bapak dan Lakinya waktu itu. Walau sebenarnya, dana terbesar di-support Bapak Tengahnya bernama Ngunduk Tarigan Sibero yang waktu itu berjualan kuda dan cabe (sayur-mayur) dari Takengon – Tanah Karo > Takengon (konon dia penunggang kuda terbaik se kecamatan Tiga Binanga, setelah bosan berjualan kuda, akhirnya laki ini menjadi petani, sehingga anakbungsunyanya dinamai Tani). Bapaknya Laki Eget sendiri waktu itu selain bertani di Lau Beski, juga erlanja sira ke daerah Belawan.

Mobil bus Usaha Nasional PMG (Perusahaan Motor Gunung) dengan nomor lambung 27 atau 37 (saya dikisahkan oleh family, bukan oleh laki Eget) milik Laki Eget, katanya adalah bus pertama yang melintasi jalur Medan ““ Kutacane. Layaknya mobil orang Karo jaman sekarang, di bagian belakangnya ditambahi tulisan “Å“DELENG PANTAR”
. Perjuman kalimbubu Tumangger mergana yang telah dihibahkan kepada keluarga kami Tarigan. Ditambah suara klaksonnya yang khas, konon bus Usaha Nasional PMG “Deleng Pantar” ini cukup dikenal masyarakat di jalur trayek itu. Terutama di daerah Tanjung Pamah, Kecamatan Mardingding dan karena kekhasan klakson yang berirama tersebut telah memikat hati seorang gadis bernama Maria beru Sitepu (mamak saya) dari anak gadis pasangan keluarga Matpat Sitepu (Pa Bidjing *) dan Lepat br Tarigan Sibero yang berasal dari desa Tanjongpamah yang kelak menjadi Karo Eget (Nd Nurlina). Hmmm… Tarigan satu ini..


Profesi sebagai permotor, nampaknya mendapat kelas tersendiri dalam masyarakat Karo pada umumnya pada saat itu khususnya di pedalaman. Setidaknya di jaman komunikasi yang sangat minim saat itu, Permotor sering menjadi penungkunen tentang perkembangan- perkembangan yang tejadi di kota besar, seperti Kabanjahe dan Medan. Sekaligus, mereka adalah pembawa tren, mulai dari bon-bon (gula-gula) terbaru, ikan teri dan kopi yang paling berkualitas sampai dengan mode rambut dan pakaian. Bisa dibayangkan, ramainya pertanyaan-pertanyaan di kedai kopi saat Permotor berlabuh di sebuah kampung. Permotor juga menjadi mesenger untuk berbagai masalah, mulai dari berita meriah sampai dengan berita ceda ate. maupun sebagai jasa pos pengiriman uang antar desa dengan kota bagi anak sekolah-an Jadi tak salah kalau Laki Eget agak ngetop pada zamannya, tampang juga boleh sih….he heee.

Era Deleng Pantar tak berjalan lama, terkena salah satu penyakit terberat Permotor ya…erjudi, pasti tidak semua seperti itu, tapi Laki Eget selalu terdepan dalam segalanya, huh… Entah karena nekat atau karena iseng, Deleng Pantar beserta keneknya, tidak lagi masuk kandang ke rumah kami di Pasar VII di Medan. Dahsyat taruhannya, gantinya ke rumah adalah down-grade Deleng Pantar. Pernah juga ada mobil Nasional bahkan mempunyai saudara beberapa buah, sampai akhirnya lenyap tak berbekas…, berganti lagi Sigantang Sira, terus hingga menghantarkan Laki Eget ke pengembaraan barunya Jakarta.

Membuka Rintisan Baru
Waktu itu saya belum genap berusia satu bulan di tahun 1971. Laki Eget melangkahkan kaki menuju ibu kota Jakarta, setelah mendengar banyak cerita gemerlap dan mudahnya meraup rupiah di Betawi. Daerah yang dituju adalah Tanah Kusir, Jakarta Selatan, pool sekaligus komunitas Karo bermukim. Konon tidak mudah mencari kontrakan di sana, terutama jika diketahui calon “˜kontraktor”™ dari Sumatera (baca: Batak). Tidak sedikit yang berganti nama juga agama, agar bisa dapat kontrakan di sekitaran Tanah Kusir. Shock culture, terjadi di kalangan Betawi saat itu dan berlanjut terus hingga sekarang, komunitas Betawi semakin tergeser ke pinggiran Jakarta. Hal ini berakibat beberapa orang karo ada yang bermualaf, beberapa ada yang kembali ke keyakinan sebelumnya. Semua adalah pilihan.

Tak sampai setahun, kami diboyong sekeluarga ke Jakarta. Memang, Laki Eget ulet dalam berusaha. Mengontrak di sekitaran pool PT Saudaranta jalan Ciputat Raya Kebayoran Lama Jakarta Selatan, perusahaan otobus yang dikelola orang Karo pastinya (RO Sembiring) . Di Jakarta, kami mempunyai Bibi Baru (bibik angkat), kami memanggilnya Bibik Pool (Nande Girik/Ninta?), karena dia membuka warung di sekitaran pool dan suaminya bermarga Bangun, kebetulan mekanik di PT Saudaranta. Demikianlah kiranya kalak Karo di perlajangen, membentuk kekerabatan baru untuk menjalani ke-Karoan mereka seperti di Tanah Kemulihennya. Kalau kami main-main ke tempat bibik pool, sudah pasti semua makanan akan tumpah-ruah…. Baik sekali Bibik ini. Tak lama berselang juga kami punya satu orang Mama Baru, namanya Tulis Sitepu, lengkaplah kami sebagai keluarga Karo, berkalimbubu dan beranak-beru. Sudah lebih dari 30 tahun saya tidak kontak komunikasi dengan mereka.







Waktu itu kami punya sebuah tape recorder kecil, sering kami pakai bersama untuk mendengar lagu-lagu di radio juga beberapa kaset yang cukup aneh bagi kami. Laki Eget sering memutar rekaman sebuah upacara kenegaraan (mungkin peringatan 17 Agustus atau 5 Oktober, saya kurang ingat), yang pasti waktu itu komandan upacaranya bernama RK Sembiring, kalau tak salah masih berpangkat Mayor di tahun 1974-an. Setiap kali kami mendengar Laki Eget selalu mengatakan “Dia ini orang Karo…”
Saat pertama saya tau Karo.

Tidak kurang dari 2 tahun, kami pindah dan menetap di Pesing Koneng-Cengkareng, kebetulan dekat dengan pool PT Gamadi (Gadjah Makmur Abadi) salah satu perusahaan otobus di tahun 70-an. Situasinya pasti tidak sama seperti sekarang, dulu belum ada jembatan yang menghubungkan jalan Daan Mogot dengan rumah kami di seberang. Kampung kami dulu terdiri dari beberapa keluarga, ada keluarga Siregar (CPM), Marbun (anggota Polri), Situmeang (penjual saksang), yang lainnya ada juga Andreas Sebayang dan Notes Ginting. Bersama dengan masyarakat setempat waktu dicetuskan untuk membuat “˜arisan getek/rakit”™ sebagai jalur penghubung dari kampung kami di seberang sungai dengan jalan Daan Mogot di seberang lain. Kami semua saling mendukung. Dan saat itu saya mengetahui Batak (saat itu banyak taktik dan kompak) di perlajangen.

Seiring perkembangan waktu, tidak kurang dari dua puluh Kepala Keluarga Karo menetap di sekitar Pesing Koneng dan Poglar (biarlah saya sebut beberapa yang teringat: Nd Ombot, Nd Kawar, Nd Baik, Nd Robin ““saya lebih kenal mereka, karena suaminya rata-rata kerja supir di siang hari) ditambah lagi anak perana tanggung yang mengadu nasib ke Jakarta (beberapa yang saya ingat Ramban Karo-karo?, Banglades Sembiring, Masana Sitepu, Asli Tarigan, Sapta Tarigan, Namin Karo-karo, Thomas Sitepu dll-semua ini donatur saya waktu kecil he hee). Jadi kebiasaan waktu itu, kepulangan ke kampung selalu diiringi pertambahan penduduk Jakarta. Waktu itu Jakarta tidak sepadat sekarang, ini malah menguntungkan banyak pihak, karena bisa mengurangi pengangguran di kampung. Laki Eget waktu itu adalah “˜dosen killer” para pencari kerja tadi. Hampir semua dari mereka menangis sepulang dari magang di jalan. Hanya saja, begitu mereka dinyatakan lulus oleh Laki Eget, tidak ada hambatan untuk melamar ke perusahaan. Laki Eget begitu disegani hingga diangkat sebagai Sopir Teladan di tahun 1979. Dan setelah mengakiri karirnya hingga tahun 1981, walau demikian rekomendasinya masih berlaku di perusahaan, hingga akhirnya terjadi nasionalisasi perusahaan otobis menjadi PPD.

Sepulang dari menemani laki kami yang sudah sakit-sakitan di kampung, selanjutnya Laki Eget memulai lagi dunianya dengan RODA NIAGA. Waktu itu sekitar tahun 1984, dibuka trayek baru Cengkareng Grogol, untuk model kendaraan baru (Colt L-300) menggantikan menggantikan mobil Opelet di jalur yang sama. Seperti Deleng Pantar, di bagian belakangnya dibuat merek MEGET-EGET, sesuai lagu yang ngetop saat itu. Sejak itulah, tangkel LAKI EGET dikalangan keluarga kami dan tidak sedikit kawan-kawan Jawa-nya yang tertarik memberi merek yang sama setelah dijelaskan artinya oleh Laki Eget, tentu terutama kawan-kawan tua sebayanya. Ada juga pengusa mikrolet yang sukses waktu itu, bermarga Ginting, dibelakang mobil-mobilnyanya dibuat inisial GT. Selain di daerah Pesing Koneng, juga ada beberapa komunitas Karo di daerah Cengkareng, umumnya adalah crew dari Tasima, Bintang Seribu juga Liberty.

Berkembangnya komunitas ini biasanya diikuti dengan pengembangan perpulungen. Pepulungen yang saya tau waktu itu Kekelengen Keluarga Kidupen (anggotanya tak hanya Kidupen?), beberapa anggotanya yang saya ingat; Najib Karo-karo, Ngaloken Ginting, Jangoman Ginting, Thomas Ginting, Desman Ginting, Lefman Sembiring, Umar Ginting, Dahlan Kacaribu ada juga Katir Sembiring dan juga Lole (Leo) Ginting. Ini beberapa yang saya ingat, karena setiap perpulungen, saya selalu ikut serta. Entah atas alasan apa, waktu itu Laki Eget didaulat menjadi Ketua Perpulungen, mungkin anggota yang lainnya sibuk, atau memang dia dituakan/paling tua dalam kelompok itu. Padahal nama-nama tadi di atas cukup terkenal dan berpendidikan. Mungkin karena laki Eget supir dan anggotanya kebanyakan permotor sehingga pendekatannya ke bawah lebih cocok. Pernah sekali dilakukan gendang bersama komunitas Karo lainnya, diselenggarakan di GOR Kuningan, itu pertama kali saya tahu gendang Karo.

Cerita tentang olah raga dan mahasiswa, beberapa waktu berselang ada mahasiswa UI jurusan Sastra Perancis ? , namanya Lion Tarigan, rambutnya kribo mirip Ahmad Albar, dia jago Silat. Dia membuka 2 perguruan silat, satu bertempat di Kalimati-Cengkareng, satu lagi di Tanah Tinggi-Tangerang. Muridnya silatnya kebanyakan para kondektur (kalak Karo) juga anak-anak sekolah di sekitar sebaya saya. Tampaknya keahlian bela diri berguna untuk menambah percaya diri di pasar simbelang. Separah-parahnya bila terjadi masalah di lapangan, waktu itu ada juga Letkol Seh Tarigan di Kepolisian.

Beberapa kelompok anak perana banyak juga yang bermigrasi ke daerah Lampung, di perusahaan bus Bina Jasa, Budi Jasa dan juga Karona. Perkembangan di Lampung cukup pesat nampaknya, (kebetulan saat SMA -3 tahun- saya tinggal di Lampung) waktu itu ada beberapa tokoh orang Karo, Taren Sembiring, Amir Sebayang dan Binana Karo-karo?? Pesatnya perkembangan di Lampung diikuti dengan perkembangan gereja GBKP (tentu umatnya bukan cuma keluarga sopir), saya sempat mengikuti acara peresmian pemugaran GBKP di Way Halim-Bandar Lampung, juga beberapa waktu kemudian diresmikan GBKP di Bandar Jaya ““ Metro. Mungkin demikian juga di Peninggaren dan Cengkareng, juga di Tanah Tinggi. Di Lampung saya sempat mengikuti gendang 2 kali, sekali di pool Karona, sekali lagi di GOR Saburai.

Laki Eget dan semua teman-temannya permotor adalah generasi perubahan pada jamannya. Generasi permotor pada kesempatan berikutnya menghantarkan banyak tamatan SMA (waktu itu) untuk meneruskan sekolahnya di Jakarta. Juga, generasi permotor telah menghasilkan generasi baru “˜Karo ““ Jakarta”™ yang sadar pendidikan. Di tahun 90-an banyak orang Karo yang beralih profesi sebagai perbinaga juga membuka toko, sementara generasi terdidiknya mulai masuk ke berbagai institusi negara dan juga swasta

Cerita ini diangkat bukan untuk mengkultuskan, lebih pada satu sisi rangkaian perjalanan Karo di ibukota yang dimotori oleh Permotor (penggusahanya, sopir, kondektur, mekanik, perbinaga dan seluruh keluarganya), sebagai permotor Laki Eget barangkali punya banyak khilafan dan kesalahan, sebagai ahli warisnya saya mohon diberikan maaf kepada almarhumah. Dan atas penulisan atau intepretasi yang keliru dalam penulisan ini, saya memohon maaf dan mohon klarifikasinya.

Lebih khusus, saya lebih mengidentifikasi dia (Laki Eget) sebagai supir daripada pengusaha permotor, karena nampaknya dia lebih sukses sebagai supir, dia banget…gituuu kata anak sekarang he heee… Dan saya bangga sekali.
Salute buat Laki Eget. Salute man permotor kerina.
Mejuah-juah.
(Kikin Tarigan)


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgbS8BoJT8W3y5s_HuOXZSHOVeOWbezqwkrMsOHLsNRNZI8lDj4YDnhskDllllgLfR4KDr70sxzmRHEJSgs7ClDwRenAku-lRnUUwJ51SS0V6K0YEaG50SFwPLbxX1cxJSsGAh63HKExxQD/s200/0004.jpg
di pangkuan Laki Eget
( Irwan Tarigan Tambun )

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiaUcETEyWiWBVsRUUpGdw0Wux9YimEkrzGEj7vbASW0M7ircxZt6FnScblssLcPhxiO3XObTIJhH1zaNG0amRRYVTyJ67yF_luvPUlv0DZkVIS4d_Y-G_4EAH5JWgPdRJIsaCMFGECvMH4/s200/image003.png

Persekutuan perempuan Karo dimulai dengan persekutuan perempuan dan para pemudi yang dipelopori oleh Nr.Van Den Berg, Ny.Dr, de Klein, Suster Meyer, Pertumpun Purba, Nimai Purba. Dengan mengingat bagaimana pentingnya peranan perempuan-perempuan ini baik dalam mendukung pelayanan di Gereja maupun di masyarakat, maka pada waku itu sudah dianggap perlu untuk mengadakan pertemuan. Maka diadakanlah pertemuan pertama yang dihadiri oleh 24 orang di sekolah Christelyke HIS Kabanjahe, yang dinamai dengan CMCM (Christelyke Meisjes Club Maju) yang berdiri pada tanggal 30 Juli 1930. Adapun program yang dilakukan kelompok ini adalah : bernyanyi, berdoa, koor, membaca dan menulis; pengetahuan umum yaitu: kesehatan dan kebersihan, menata dan melayani jamuan makan, menjahit dan tata boga. Setelah Nr. Van Den Berg kembali ke negeri Belanda, maka tugasnya digantikan oleh Nr. Pdt. Neuman Bosch dan Nr.Pdt. Vuurmans.

CMCM ini semakin lama semakin berkembang dalam seluruh programnya dan pada bulan Agustus 1934 membuat pertemuan untuk membicarakan kelanjutan persekutuan ini yang dipimpin oleh Nr. Pdt. Neuman dan pada saat ini terbentuk kepengurusan sebagai berikut:
Ketua I : Nora Pdt. Neuman Bosch
Ketua II : Nimai Br Purba (Nd. Paulus)
Sekretaris I : Loise Br Sembiring (Nd. Felix)
Sekretaris II : Kesena Pohan
Penning meester I: Bakul Br Ginting Suka Penning meester II : Ngire Br Sembiring
Commisarissen : Nora Pdt. Vuurmans, Pertumpun Br Purba, Suster Meyer

Kepengurusan ini tidak berlangsung lama, kemudian pelayanan ditangani langsung oleh Nora Pdt. Neuman dengan membentuk staf yaitu:
Ketua I : Nora Pdt. Neuman Bosch
Ketua II : Nora Pdt. Vuurmans
Sekretaris I : Ny. Pdt. Schoonhoven
Sekretaris II : Suster Meyer
Penning meester I : Ny. Dr. de Kleijn
Penning meester II : Ny. Smith
Juga dibantu oleh beberapa orang commisarissen, yang kemudian menjadi pengurus CMCM. Oleh karena semakin banyak yang masuk ke dalam kelompok ini, maka disediakan guru untuk mengajar. Kelompok CMCM semakin berkembang ditengah perempuan Karo yang diikuti dengan berdirinya beberapa club CMCM di Kabanjahe, yaitu :
~ Club untuk anak-anak
~ Club untuk remaja
~ Club untuk pemudi
~ Club untuk kaum ibu

Dengan bertambah majunya CMCM ini maka beberapa kegiatan seperti koor, membaca, menulis, pengetahuan umum umpamanya kesehatan dan kebersihan, menyediakan teh, makanan dan menghidangkannya juga bertambah. Pada awalnya memang yang menjadi guru adalah Nora pendeta tetapi kemudian siswa yang sudah mampu melakukannya secara bergantian ikut mengambil bagian. Akhirnya, dianggap perlu menyediakan guru buat CMCM ini. Guru yang pertama yaitu, Bakul br Ginting Suka (Nd.Rasmita) dan Perembahen br Barus. Dalam perjalanannya, semakin nyatalah yang menjadi tujuan dari CMCM ini yaitu, Mengabarkan Kabar Baik, Mengajak dan mendukung agar anak-anak perempuan dapat mengenyam pendidikan, Memberantas poligami, Mengadakan kursus yang berguna untuk anak-anak perempuan (gadis) dan juga kaum ibu. CMCM berkembang terus menerus karena mendapat dukungan baik moril maupun material dari raja-raja di Tanah Karo, dan semua yang menjadi pengurus dan guru-guru terlibat secara aktif. Oleh karena perkembangannya semakin pesat maka berdirilah CMCM di wilayah Karo Gugung dengan bantuan Raja-raja di Tanah Karo, CMCM di Karo Jahe. Pada tahun 1937 guru CMCM angkatan yang ke-2 ada sebanyak 7 orang yaitu ;
  1. Hanna Br Munthe
  2. Ngendes Br Sembiring
  3. Christina Br Meliala
  4. Nungkun Br Ginting
  5. Nawari Br Tarigan
  6. Megiken Br Sinuraya
  7. Rehulina Br Ketaren
Selanjutnya angkatan yang ke- 3 yaitu :
1. Lemah Br Sinulingga
2. Tendung Br Sinulinga
3. Lidia Br Ginting Suka
4. Martha Br Munthe
5. Martha Br Munthe (Karo Jahe)
6. Lina Br Munthe
7. Perngis Br Brahmana
8. Permisi Br Tarigan
9. Cakap Br Brahmana (Karo Gugung)

Dalam perkembanganna CMCM ini semakin luas tidak hanya di Karo Gugung, tapi terus ke Karo Jahe (umpamanya: Kuta Tualah, Delitua, Peria-ria, Kutajurung, Sibolangit, Buluhawar dan Bingkawan). Pada tanggal 13 Maret 1942 tentara Jepang datang ke Indonesia, semua orang Belanda ditangkap, termasuk Pendeta-pendeta Belanda yang diutus oleh badan Zending kepada masyarakat Karo. Dalam situasi demikian, pelayanan dan program menjadi terhambat dan mandek. Kemudian pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang mengalami kekalahan dalam peperangan, dimana kota Nagasaki dan Hirosima hancur dibom atom oleh tentera Sekutu. Maka pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia merdeka, dan selanjutnya bekas anggota CMCM mulai melanjutkan perkumpulannya. Beberapa perempuan baik tua dan muda baik itu yang ada di Kabanjahe maupun yang ada di Berastagi, Surbakti, Pancur Batu, Sibolangit, Medan yaitu wilayah yang sudah ada jemaat (gereja) GBKP.

Akhirnya banyaklah anggota dari CMCM ini yang mengaku Yesus Kristus'lah yang menjadi Juruselamatnya dan kemudian menerima untuk dibabtiskan. Demikianlah perempuan
kemudian memperlihatkan keaktifan mereka dalam kehidupan berjemaat dengan membuat dan melaksanakan program mengunjungi yang berdukacita, mengunjungi anak yang baru lahir, membaca dan menelaah Alkitab, bernyanyi, berdoa dan koor. Untuk mendukung kegiatan ini dan untuk keseragamannya akhirnya mereka membuat kepengurusan perempuan (ibu) baik itu di wilayah Karo Jahe maupun Karo Gugung. Pengurus-pengurus tersebut terus menerus melakukan kontak, hubungan Pengurusnya adalah Nd.Rasmita br Ginting Suka (Bakul br Ginting Suka), Nd.Wasti br Tarigan, Nd.Sutradara br Purba, Truida br Girsang, Nd.Julia br Bukit, K.Muham, Nd.Felix, semuanya berharap agar persekutuan kaum ibu ini seragam dan bersatu. Dan akhirnya mereka inilah semua yang menjadi pengurus Moria GBKP. Melalui Majelis (Runggun Gereja) diusulkan ke Sidang Synode tahun 1956 di
Tigabinanga, dibicarakanla agar ada satu organisasi perempuan. Dalam persidangan ini terjadi pro dan kontra tapi keputusannya, sidang merasa baik adanya membuat satu organisasi ditengah-tengah gereja GBKP khusus kaum ibu, untuk menjadi satu organisasi yang baik dan teratur supaya persekutuan ini tidak jauh dari GBKP tapi di dalam GBKP. Dan tujuan lain supaya kegiatan kaum ibu dapat bersatu dan mendukung aktivitas perempuan. Kemudian untuk realisasi persetujuan sidang tersebut maka sinode GBKP menunjuk Gr.Ag.Rachel Sinuraya untuk mempersiapkan rencana pertemuan dan mempersiapkan anggaran dasarnya.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhE9hC52dwzgtjYFdFd4V9dHoVVJqq1I9alQ87-7-ewz66kXj57BHU4Uymln9bta4e3ZQGG5GiYydxz58cj7RG69kJ37p0IVh_jFx3SsO5plURIOlc3V-jCjAqBMNE3fhhm8SPYOdF_ayeT/s200/kab.Karo.jpg

Kabar-kabar angin bahwa Belanda akan melancarkan agresi I militernya terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia kian semakin santer, puncaknya, pagi tanggal 21 Juli 1947, Belanda melancarkan serangan ke seluruh sektor pertempuran Medan Area. Serangan ini mereka namakan “Polisionel Actie” yang sebenarnya suatu agresi militer terhadap Republik Indonesia yang usianya baru mendekati 2 tahun.
Pada waktu kejadian itu Wakil Presiden Muhammad Hatta berada di Pematang Siantar dalam rencana perjalanannya ke Banda Aceh. Di Pematang Siantar beliau mengadakan rapat dengan Gubernur Sumatera Mr. T. Muhammad Hasan. Dilanjutkan pada tanggal 23 Juli 1947 di Tebing Tinggi. Pada arahannya dengan para pemimpin-pemimpin perjuangan, wakil presiden memberikan semangat untuk terus bergelora melawan musuh dan memberi petunjuk dan arahan menghadapi agresi Belanda yang sudah dilancarkan 2 hari sebelumnya. Namun Wakil Presiden membatalkan perjalanan ke Aceh dan memutuskan kembali ke Bukit Tinggi, setalah mendengar jatuhnya Tebing Tinggi, pada tanggal 28 Juli 1947. Perjalanan Wakil Presiden berlangsung di tengah berkecamuknya pertempuran akibat adanya serangan-serangan dari pasukan Belanda.
Rute yang dilalui Wakil Presiden adalah Berastagi-Merek-Sidikalang-Siborong-borong-Sibolga-Padang Sidempuan dan Bukit Tinggi. Di Berastagi, Wakil Presiden masih sempat mengadakan resepsi kecil ditemani Gubernur Sumatera Mr. T. Muhammad Hasan, Bupati Karo Rakutta Sembiring dan dihadiri Komandan Resimen I Letkol Djamin Ginting’s, Komandan Laskar Rakyat Napindo Halilintar Mayor Selamat Ginting, Komandan Laskar Rakyat Barisan Harimau Liar (BHL) Payung Bangun dan para pejuang lainnya, di penginapan beliau Grand Hotel Berastagi. Dalam pertemuan itu wakil presiden memberi penjelasan tentang situasi negara secara umum dan situasi khusus serta hal-hal yang akan dihadapi Bangsa Indonesia pada masa-masa yang akan datang.
Selesai memberi petunjuk, kepada beliau ditanyakan kiranya ingin kemana, sehubungan dengan serangan Belanda yang sudah menduduki Pematang Siantar dan akan menduduki Kabanjahe dan Berastagi. Wakil Presiden selanjutnya melakukan: “Jika keadaan masih memungkinkan, saya harap supaya saudara-saudara usahakan, supaya saya dapat ke Bukit Tinggi untuk memimpin perjuangan kita dari Pusat Sumatera”.
Setelah wakil presiden mengambil keputusan untuk berangkat ke Bukit Tinggi via Merek, segera Komandan Resimen I, Komandan Napindo Halilintar dan Komandan BHL, menyiapkan Pasukan pengaman. Mengingat daerah yang dilalui adalah persimpangan Merek, sudah dianggap dalam keadaan sangat berbahaya.
Apabila Belanda dapat merebut pertahanan kita di Seribu Dolok, maka Belanda akan dengan mudah dapat mencapai Merek, oleh sebab itu kompi markas dan sisa-sisa pecahan pasukan yang datang dari Binjai, siang harinya lebih dahulu dikirim ke Merek. Komandan Resimen I Letkol Djamin, memutuskan, memerlukan Pengawalan dan pengamanan wakil presiden, maka ditetapkan satu pleton dari Batalyon II TRI Resimen I untuk memperkuat pertahanan di sekitar gunung Sipiso-piso yang menghadap ke Seribu Dolok, oleh Napindo Halilintar ditetapkan pasukan Kapten Pala Bangun dan Kapten Bangsi Sembiring.
Sesudah persiapan rampung seluruhnya selesai makan sahur, waktu itu kebetulan bulan puasa, berangkatlah wakil presiden dan rombongan antara lain: Wangsa Wijaya (Sekretaris Priadi), Ruslan Batangharis dan Williem Hutabarat (Ajudan), Gubernur Sumatera Timur Mr. TM. Hasan menuju Merek. Upacara perpisahan singkat berlangsung menjelang subuh di tengah-tengah jalan raya dalam pelukan hawa dingin yang menyusup ke tulang sum-sum.
Sedang sayup-sayup terdengar tembakan dari arah Seribu Dolok, rupanya telah terjadi tembak-menembak antara pasukan musuh / Belanda dengan pasukan-pasukan kita yang bertahan di sekitar Gunung Sipiso-piso.
Seraya memeluk Bupati Tanah Karo Rakutta Sembiring, wakil presiden mengucapkan selamat tinggal dan selamat berjuang kepada rakyat Tanah Karo. Kemudian berangkatlah wakil presiden dan rombongan, meninggalkan Merek langsung ke Sidikalang untuk selanjutnya menuju Bukit Tinggi via Tarutung, Sibolga dan Padang Sidempuan.
Sementara itu, keadaan keresidenan Sumatera Timur semakin genting, serangan pasukan Belanda semakin gencar. Akibatnya, ibu negeri yang sebelumnya berkedudukan di Medan pindah ke Tebing Tinggi.
Bupati Rakutta Sembiring, juga menjadikan kota Tiga Binanga menjadi Ibu negeri Kabupaten Karo, setelah Tentara Belanda menguasai Kabanjahe dan Berastagi, pada tanggal 1 Agustus 1947.
Namun sehari sebelum tentara Belanda menduduki Kabanjahe dan Berastagi, oleh pasukan bersenjata kita bersama-sama dengan rakyat telah melaksanakan taktik bumi hangus, sehingga kota Kabanjahe dan Berastagi beserta 51 Desa di Tanah Karo menjadi lautan Api.
Taktik bumi hangus ini, sungguh merupakan pengorbanan yang luar biasa dari rakyat Karo demi mempertahankan cita-cita luhur kemerdekaan Republik Indonesia. Rakyat dengan sukarela membakar apa saja yang dimiliki termasuk desa dengan segala isinya.
Kenyataan itu telah menyebabkan wakil presiden mengeluarkan keputusan penting mengenai pembagian daerah dan status daerah di Sumatera Utara yang berbunyi sebagai berikut:
“Dengan surat ketetapan Wakil Presiden tanggal 26 Agustus 1947 yang dikeluarkan di Bukit Tinggi, maka daerah-daerah keresidenan Aceh, Kabupaten Langkat, kabupaten Tanah Karo, dijadikan satu daerah pemerintahan militer dengan Teungku Mohammad Daud Beureuh sebagai Gubernur Militer. Sedangkan daerah-daerah keresidenan Tapanuli, Kabupaten Deli Serdang, Asahan dan Labuhan Batu menjadi sebuah daerah pemerintahan Militer dengan Dr. Gindo Siregar sebagai Gubernur Militer. Masing-masing Gubernur Militer itu diangkat dengan Pangkat Mayor Jenderal.
Selanjutnya melihat begitu besarnya pengorbanan rakyat karo ini, wakil presiden Drs. Mohammad Hatta menulis surat pujian kepada rakyat Karo dari Bukit Tinggi pada tanggal 1 Januari 1948. Adapun surat wakil presiden tersebut selengkapnya sebagai berikut:
Bukittinggi, 1 Januari 1948
“Kepada Rakyat Tanah Karo Yang Kuncintai”.
Merdeka!
Dari jauh kami memperhatikan perjuangan Saudara-saudara yang begitu hebat untuk mempertahankan tanah tumpah darah kita yang suci dari serangan musuh. Kami sedih merasakan penderitaan Saudara-saudara yang rumah dan kampung halaman habis terbakar dan musuh melebarkan daerah perampasan secara ganas, sekalipun cease fire sudah diperintahkan oleh Dewan Keamanan UNO.
Tetapi sebaliknya kami merasa bangga dengan rakyat yang begitu sudi berkorban untuk mempertahankan cita-cita kemerdekaan kita.
Saya bangga dengan pemuda Karo yang berjuang membela tanah air sebagai putra Indonesia sejati. Rumah yang terbakar, boleh didirikan kembali, kampung yang hancur dapat dibangun lagi, tetapi kehormatan bangsa kalau hilang susah menimbulkannya. Dan sangat benar pendirian Saudara-saudara, biar habis segala-galanya asal kehormatan bangsa terpelihara dan cita-cita kemerdekaan tetap dibela sampai saat yang penghabisan. Demikian pulalah tekad Rakyat Indonesia seluruhnya. Rakyat yang begitu tekadnya tidak akan tenggelam, malahan pasti akan mencapai kemenangan cita-citanya.
Di atas kampung halaman saudara-saudara yang hangus akan bersinar kemudian cahaya kemerdekaan Indonesia dan akan tumbuh kelak bibit kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Karo, sebagai bagian dari pada Rakyat Indonesia yang satu yang tak dapat dibagi-bagi.
Kami sudahi pujian dan berterima kasih kami kepada Saudara-saudara dengan semboyan kita yang jitu itu: “Sekali Merdeka Tetap Merdeka”.
Saudaramu,
MOHAMMAD HATTA
Wakil Presiden Republik Indonesia
Selanjutnya, untuk melancarkan roda perekonomian rakyat di daerah yang belum diduduki Belanda, Bupati Rakutta Sembiring mengeluarkan uang pemerintah Kabupaten Karo yang dicetak secara sederhana dan digunakan sebagai pembayaran yang sah di daerah Kabupaten Karo.
Akibat serangan pasukan Belanda yang semakin gencar, akhirnya pada tanggal 25 Nopember 1947, Tiga Binanga jatuh ke tangan Belanda dan Bupati Rakutta Sembiring memindahkan pusat pemerintahan Kabupaten Karo ke Lau Baleng. Di Lau Baleng, kesibukan utama yang dihadapi Bupati Karo beserta perangkatnya adalah menangani pengungsi yang berdatangan dari segala pelosok desa dengan mengadakan dapur umum dan pelayanan kesehatan juga pencetakan uang pemerintahan Kabupaten Karo untuk membiayai perjuangan.
Setelah perjanjian Renville ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948, Pemerintah RI memerintahkan seluruh Angkatan Bersenjata Republik harus keluar dari kantung-kantung persembunyian dan hijrah ke seberang dari Van Mook yaitu daerah yang dikuasai secara de jure oleh Republik.
Barisan bersenjata di Sumatera Timur yang berada di kantung-kantung Deli Serdang dan Asahan Hijrah menyeberang ke Labuhan Batu. Demikian pula pasukan yang berada di Tanah Karo dihijrahkan ke Aceh Tenggara, Dairi dan Sipirok Tapanuli Selatan. Pasukan Resimen I pimpinan Letkol Djamin Ginting hijrah ke Lembah Alas Aceh Tenggara. Pasukan Napindo Halilintar pimpinan Mayor Selamat Ginting hijrah ke Dairi dan pasukan BHL pimpinan Mayor Payung Bangun hijrah ke Sipirok Tapanuli Selatan.
Berdasarkan ketentuan ini, dengan sendirinya Pemerintah Republik pun harus pindah ke seberang garis Van mook, tidak terkecuali Pemerintah Kabupaten Karo yang pindah mengungsi dari Lau Baleng ke Kotacane pada tanggal 7 Pebruari 1948. Di Kotacane, Bupati Rakutta Sembiring dibantu oleh Patih Netap Bukit, Sekretaris Kantor Tarigan, Keuangan Tambaten S. Brahmana, dilengkapi dengan 14 orang tenaga inti.
Selanjutnya untuk memperkuat posisi mereka, Belanda mendirikan Negara Sumatera Timur. Untuk daerah Tanah Karo Belanda menghidupkan kembali stelsel atau sistem pemerintahan di zaman penjajahan Belanda sebelum perang dunia kedua.
Administrasi pemerintahan tetap disebut Onder Afdeling De Karo Landen, dikepalai oleh seorang yang berpangkat Asisten Residen bangsa Belanda berkedudukan di Kabanjahe. Di tiap kerajaan (Zeifbesturen) wilayahnya diganti dengan Districk sedangkan wilayah kerajaan urung dirubah namanya menjadi Onderdistrick.
Adapun susunan Pemerintahan Tanah Karo dalam lingkungan Negara Sumatera Timur adalah: Plaatslijkbestuur Ambteenaar, A. Hoof. Districthoofd Van Lingga, Sibayak R. Kelelong Sinulingga, Districhoofd Van Suka, Sibayak Raja Sungkunen Ginting Suka, Districhoofd Van Sarinembah, Sibayak Gindar S. Meliala, Districthoofd Van Kuta Buluh, Sibayak Litmalem Perangin-angin.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiQ9i5Shof1_mfG_vdhWc_Fwi99wfVuqSwsU6zadX1oRUVpufR7r-TP4vG4NtgepdV9QiHRDqJ4OZgx7DiMHhnmxSIAScnqmDbAFvlLwvDekguuhxztfLMrdCH8ceX_2CFzKhJnhWcPC5Ci/s200/3binanga.jpg

Wilayah Kecamatan Tiga Binanga luasnya 16.038 Ha terdiri dari 18 desa atau kelurahan.
Perubahan Desa Tiga Binanga menjadi Kelurahan Tiga Binanga terjadi pada tahun 1999 dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah.
Adapun batas-batas Kelurahan Tiga Binanga secara administratif adalah :
  1. Sebelah Utara berbatas dengan Uruk Biru;
  2. Sebelah Selatan berbatas dengan Desa Gunung;
  3. Sebelah Timur berbatas dengan Desa Kuala;
  4. Sebelah Barat berbatas dengan Desa Kuta Galuh.
Kelurahan (dahulu desa) Tiga Binanga didirikan oleh Marga Sebayang dari Desa Kuala sebagai marga tanah beserta dengan anak berunya Marga Sembiring Brahmana, Ginting Tampune dan Karo-Karo Sinulingga sebagai anak beru tanah dan kalimbubunya Marga Sembiring Meliala sebagai kalimbubu tanah. Tidak ada seorangpun yang tahu persis tahun berapa desa Tiga Binanga mulai berdiri, namun diperkirakan adalah pada awal abad ke-20. Dari hasil wawancara dengan seorang yang mengetahui sejarah berdirinya desa Tiga Binanga yaitu Endamalem br Sebayang dan saat ini sudah berumur kurang lebih 90 tahun diperoleh keterangan sebagai berikut di bawah ini.

Dulunya areal desa Tiga Binanga adalah merupakan tanah perladangan milik Marga Sebayang dari Desa Kuala. Pada waktu itu pekan yang terdekat dengan tanah perladangan ini dan desa di sekitarnya adalah desa Tiga Beringen, dimana persimpangan menuju desa Tiga Beringen dari jalan besar Kabanjahe-Kotacane berada di tanah perladangan Marga Sebayang (desa Tiga Binanga sekarang).

Di persimpangan menuju desa Tiga Beringen tersebut tumbuh satu pohon besar yang oleh masyarakat setempat dikenal dengan nama "Batang Buah" dan tidak jauh dari Batang Buah itu terdapat sebuah lubuk besar yang merupakan pertemuan dari dua sungai yaitu Lau Namo Ratah dan Lau Bengap yang sering dikunjungi oleh orang-orang yang ingin beristirahat di pinggir lubuk itu.

Tidak jarang di bawah Batang Buah tersebut bertemu pedagang dan pembeli secara tidak sengaja karena sama-sama beristirahat sehingga terkadang terjadilah transaksi. Mula-mula baru sedikit, kemudian semakin banyak dan bahkan ada diantara pedagang dan pembeli yang tidak lagi melanjutkan perjalanannya ke Pekan Desa Tiga Beringen tetapi kemudian menjajakan dagangannya di bawah Batang Buah dan kemudian diikuti oleh pedagang lainnya sehingga suasana dibawah Batang Buah tersebut benar-benar telah berubah menjadi pekan yang baru.

Melihat perkembangan ini Marga Sebayang sebagai pemilik tanah perladangan itu mengambil inisiatif mendirikan kios-kios kecil untuk disewakan kepada para pedagang di hari pekan. Oleh karena keadaannya semakin ramai, maka Marga Sebayang ini akhirnya mendirikan rumah yang diikuti oleh anak beru dan kalimbubunya, serta orang-orang lainnya dengan izin dari Marga Sebayang. Jadi, di sekitar Batang Buah itu akhirnya berdirilah sebuah desa yang diberi nama Tiga Binanga.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEidz_2kYkAZUo5i4X6O8RxgPFrOx3jeFSVJkzSlmAPNI3842TMkvEbFdQU4wI3qa09pWNosHKGFVjXwLI-yIz5-ORdYAAo0f9I8Jcz3w00gwq6QovqXGfeRc-cYyuSScCGdnGCq6WsR8-8K/s200/desa+Gunung%252C+Tiga+Binanga.jpg
Gambar: desa Gunung, Tiga Binanga
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj7CtJV-D5LzocTl78Tk-kh6_Wwcr1dASSMPEigR0X-8ZrqROZ8y06X5g2bSekcZ_3LEYxL4-fFDAgaOnAivUqej2HkoF2cuJAwu3H0shn2lpDIYtJpr-kJaN13S85zrWexKYzhS93PWFOn/s200/karo.png
Berdasarkan sejarah perkembangannya, sebelum adanya kerajaan-kerajaan di Tanah Karo, masyarakatnya hanya terdiri dari bangsa tanah yang menumpang dan datang dari luar. Pada waktu itu pimpinan diangkat dari marga tanah dibantu oleh senina dan anak berunya yang lama kelamaan medirikan suatu kesain dan pimpinannya tetap berasal dari keluarga bangsa tanah itu. Beberapa kesain tersebut mengadakan perserikatan yang disebut urung dengan pimpinannya yang disebut Bapa Urung. Dengan terbentuknya kepemimpinan dalam satu urung maka semakin menonjollah keinginan berkuasa untuk menjaga prestise sehingga akhirnya terjadi perselisihan antara urung yang satu dengan urung yang lain.

Sekitar 1607-1636 Aceh dibawah pimpinan Sultan Iskandar Muda mengadakan penyebaran agama islam ke tanah Karo. Melihat adanya perselisihan antara urung-urung yang terdapat di tanah Karo maka utusan Raja Aceh yang disebut Tuan Kita meresmikan 4 (empat) kerajaan adat yang disebut Sibayak yang diperintah oleh empat orang raja yang mempunyai luas daerah yang berbeda-beda yaitu :

1. Kerajaan Lingga terdiri dari enam urung, yaitu :
a. Urung XII Kuta yang berkedudukan di Kabanjahe
b. Urung III Kuru yang berkedudukan di Lingga
c. Urung Naman yang berkedudukan di Naman
d. Urung Tigapancur yang berkedudukan di Tigapancur
e. Urung Teran yang berkedudukan di Batukarang
f. Urung Tiganderket yang berkedudukan di Tiganderket

2. Kerajaan Barusjahe yang terdiri dari dua urung, yaitu :
a. Urung si VII yang berkedudukan di Barusjahe
b. Urung si VI yang berkedudukan di Sukanalu

3. Kerajaaan Suka yang terdiri dari empat urung, yaitu :
a. Urung Suka yang berkedudukan di Suka
b. Urung Sukapiring yang berkedudukan di Seberaya
c. Urung Ajinembah yang berkedudukan di Ajinembah
d. Urung Tongging yang berkedudukan di Tongging

4. Kerajaan Sarinembah yang terdiri dari empat urung, yaitu :
a. Urung XVII Kuta yang berkedudukan di Sarinembah
b. Urung Perbesi yang berkedudukan di Perbesi
c. Urung Juhar yang berkedudukan di Juhar
d. Urung Kutabangun yang berkedudukan di Kutabangun

5. Kerajaan Kutabuluh yang terdiri dari dua urung, yaitu :
a. Urung Namohaji yang berkedudukan di Kutabuluh
b. Urung Langmelas yang berkedudukan di Mardingding

Sedangkan Kerajaan Kutabuluh diresmikan oleh Pemerintah Belanda yang pada tahun 1890 Belanda masuk ke Tanah Karo dengan tujuan berdagang sekaligusmelancarkan politik devide et impera yang membuat perselisihan antar urung terjadi kembali disusul dengan kedatangan Jepang pada tahun 1942 yang semakin menambah penderitaan rakyat.
Rakut Sitelu adalah sebagai perwujudan lebih lanjut dari adanya Merga Silima sehingga masyarakat Karo membagi diri atas tiga kelompok menurut fungsinya didalam hubungan kekeluargaan yang terdiri dari :
1. Senina, adalah orang-orang yang satu kata dalam musyawarah adat yang terdiri dari :

a. Yang langsung ke Sukut ;
Ø Sembuyak adalah orang-orang yang bersaudara (satu ayah, ibu), satu kakek atau satu buyut.
Ø Senina Sikaku Ranan/Gamet adalah orang-orang yang mempunyai marga sama tapi klannya berbeda dan tugasnya sebagai juru bicara dalam musyawarah adat.

b. Yang berperantara ke Sukut ;
Ø Sepemeren, adalah orang-orang yang bersaudara karena ibu mereka bersaudara atau beru ibu mereka sama.
Ø Separibanen, adalah orang-orang yang bersaudara karena istri mereka bersaudara atau beru istri mereka sama.
Ø Sepengalon, adalah persaudaraan yang timbul karena anak perempuan kawin dengan pria yang saudaranya mengambil istri dari marga tersebut atau karena anak perempuan kita kawin dengan marga tertentu sehingga kalimbubu anak perempuan kita menjadi sepengalon dengan kita.
Ø Sendalanen, adalah persaudaraan yang timbul karena seorang laki-laki mengawini sepupu dekat (impal) kita.


2. Anak Beru, berarti anak perempuan atau kelompok yang mengambil istri dari keluarga/marga tertentu, yang secara umum dapat dibagi atas 2 kelompok yaitu :

a) Anak Beru Langsung yang terdiri dari :
Ø Anak Beru Angkip / Ampu, yaitu menantu atau suami dari anak yang baru untuk pertama sekali keluarganya kawin dengan keluarga kita.
Ø Anak Beru Dareh / Anak Beru Ipupus, adalah anak dari bibi atau anak dari saudari kita atau yang lahir dari ibu yang berunya adalah dari marga kita.
Ø Anak Beru Cekoh Baka, adalah anak beru yang telah kawin dengan keluarga tertentu dua kali berturut-turut, misalnya anak beru dareh atau ipupus yang mengawini impal (sepupunya) maka ia menjadi anak beru cekoh baka.
Ø Anak Beru Cekoh Baka Tutup, adalah orang (keluarga atau marga) tertentu yang telah tiga kali berturut-turut mengawini perempuan(beru) dari keluarga atau marga tertentu misalnya Anak Beru Cekoh Baka mengawini impalnya maka ia menjadi Anak Berun Cekoh Baka tutup.
Ø Anak Beru Tua yang terbagi atas tiga macam yaitu :
i. Anak Beru Tua Jabu, adalah orang/keluarga tertentu yang telah empat kali berturut-turut mengawini perempuan(beru) dari keluarga tertentu. Atau apabila Anak Beru Cekoh Baka Tutup mengawini impalnya, maka ia menjadi Anak Beru Tua Jabu.
ii. Anak Beru Tua Kesain, adalah anak beru yang ikut mendirikan sesuatu kesain tertentu.
iii. Anak Beru Tua Kuta, adalah anak beru yang ikut mendirikan kuta.

b) Anak Beru Berperantara adalah anak beru yang tidak langsung berhubungan keluarga kepada sukut, tetapi berperantara keluarga (orang) tertentu. Anak beru yang demikian terdiri dari :
Ø Anak Beru Sepemeren, yaitu anak beru dari sepemerenta, umpamanya di limang Marga Perangin-angin sepemeren dengan Marga Ketaren. Oleh karena itu anak beru dari Marga Perangin-angin menjadi anak beru sepemeren dengan Marga Ketaren, demikian juga sebaliknya.
Ø Anak Beru Menteri, adalah anak beru dari anak beru, dalam upacara perkawinan dia menerima hutang adat berupa simajek lape-lape.
Ø Anak Beru Ngikuri, adalah anak beru dari anak beru menteri. Dalam upacara perkawinan anak beru menerima hutang adat dari yang kawin berupa perkembaren (erdemu bayu), perseninan (petuturken) atau sabe dalam hal perkawinan diawali dengan membawa perempuan ke rumah pihak laki-laki, yang dalam bahasa Karo disebut nangkih dan sirembah kulau (orang julu). Demikian juga anak beru dari orang tua perempuan menerima ikor-ikor (bagian daging sapi yang melekat pada bagian ekornya).



3. Kalimbubu, adalah kelompok pemberi dara bagi keluarga(marga) tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari sering juga disebut Dibata Ni Idah(Tuhan yang kelihatan), karena kedudukannya yang sangat dihormati. Kalimbubu dapat digolongkan ke dalam dua bagian yaitu :
A. Kalimbubu yang langsung ke sukut, yaitu :
Ø Kalimbubu Iperdemui atau Kalimbubu Sierkimbang, adalah orang tua/saudara dari istri orang/keluarga/marga tertentu, atau biasa juga disebut Kalimbubu Simaba Ose (pakaian adat) bagi anak dan kela (menantunya) pada pesta-pesta tertentu (pesta agung).
Ø Kalimbubu Simada Dareh (bere-bere), adalah orang tua (bapa) atau turang (saudara) ibu uang dalam prakteknya dapat berganti nama sebanyak lima kali sesuai dengan keadaan, yaitu :
I. Kalimbubu Singalo-ulu Mas, adalah bere-bere (keponakan)nya yang laki-laki kawin maka ia disebut Kalimbubu Singalo Ulu Mas.
II. Kalimbubu Singalo Bere-bere, adalah apabila bere-berenya yang perempuan kawin maka ia disebut Kalimbubu Singalo Bere-bere.
III. Kalimbubu Singalo Maneh-maneh, yaitu apabila anak beru dareh(ipupus) meninggal dunia cawir metua (umur sudah lanjut dan anak-anak sudah berumah tangga semua) maka ia menerima hutang adat berupa maneh-maneh. Apabila yang meninggal itu anak beru menteri (yang perempuan/turang anak beru dareh), maka maneh-maneh kepada kalimbubu singalo perkempun berupa kain adat kelam-kelam.
IV. Kalimbubu Singalo Morah-morah, yaitu apabila anak beru dareh meninggal dunia, umur belum lanjut, anak belum berkeluarga semua maka ia menerima hutang adat bernama morah-morah. Apabila yang meninggal itu anak beru menteri(turang dari anak beru dareh), maka ia juga menerima morah-morah untuk puang kalimbubu.
V. Kalimbubu Singalo Sapu Iloh, yaitu apabila anak beru dareh meninggal dalam usia muda, belum berkeluarga, maka hutang adatnya bernama sapu iloh. Apabila yang meninggal itu anak beru menteri (turang anak beru dareh) dia juga menerima sapu iloh untuk puang kalimbubu.
Ø Kalimbubu Bapa (Binuang), adalah kalimbubu dari ayah, yang dapat beberapa kali berganti nama sesuai fungsinya, seperti :
I. Kalimbubu Simajek Diliken, yaitu apabila anak berunya (yang binuangnya) adalah dia memasuki rumah baru maka, dia disebut kalimbubu simajek diliken (memasang tungku).
II. Kalimbubu Singalo Perninin, yaitu apabila anak beru menteri (anak perempuan dari bere-berenya si dilaki) kawin, maka ia menerima perninin makan disebut kalimbubu singalo perninin. Hutang adat perninin ini hanya ada di beberapa daerah karo, seperti Urung Julu, dan Lau Cih (Deli serdang) serta Langkat. Di daerah Langkat disebut kalimbubu singalo perkempun.
III. Kalimbubu Singalo Ciken-ciken, yaitu apabila anak beru menteri (laki-laki), yakni anak dari bere-berenya yang perempuan meninggal dunia, maka ia menerima hutang adat bernama ciken-ciken dan disebut kalimbubu singalo ciken-ciken.
IV. Kalimbubu Nini (Kampah) atau Kalimbubu Bena-bena, yaitu kalimbubu dari kakek (ayah dari ayah) menurut tutur ia menjadi kampah.
Ø Kalimbubu Tua, dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu :
I. Kalimbubu Tua Jabu, yaitu kalimbubu yang secara terus menerus memberi dara mulai dari empong ni empong, kepada empong, kepada nini (kakek) pada ayah (bapa) maka ia disebut kalimbubu tua jabu.
II. Kalimbubu Tua Kesain, yaitu kelompok orang dari marga tertentu yang diangkat menjadi kalimbubu ketika mendirikan suatu kesain tertentu.
III. Kalimbubu Tua Kuta (Simajek Lulang) atau Kalimbubu Taneh, yaitu kelompok orang atau marga tertentu yang diangkat sebagai kalimbubu.

B. Kalimbubu berperantara ke sukut yang terdiri dari :
Ø Puang Kalimbubu (Perkempun), adalah kalimbubu dari kalimbubu dan ada beberapa kali berganti nama sesuai fungsinya, apabila anak beru menteri (turang dari anak beru dareh) meninggal dunia dia menerima morah-morah dan disebut kalimbubu singalo morah-morah, daerah Langkat (Karo Jahe).
Ø Kalimbubu Singalo Maneh-maneh Perkempun, apabila yang meninggal adalah anak beru menteri yang laki-laki (anak dari bere-bere) maka di Karo Gugung ia menerima hutang adat dapat berupa maneh-maneh, morah-morah, sapu iloh untuk puang kalimbubu.
Ø Kalimbubu Singalo Perkempun atau Kalimbubu Singalo Perninin, yaitu apabila anak perempuan dari anak beru menterinya kawin, maka ia menerima hutang adat bernama perkempun dan disebut kalimbubu singalo perkempun.
Ø Puang Ni Puang (Soler), adalah Kalimbubu dari puang kalimbubu yang dalam tutur menjadi soler.
Ø Kalimbubu Sepemeren, adalah sepemeren dari mama atau turang sepemeren dari ibu yang melahirkan kita.


Fungsi masing-masing unsur Rakut Sitelu pada masyarakat Karo dapat disamakan dengan fungsi trias politiqa (pemisahan kekuasaan pada tiga badan), seperti digambarkan oleh Montesqieu dalam bukunya L’spirit des loi, yaitu :
1) Kekuasaan eksekutif (kekuasaan pemerintahan).
2) Kekuasaan legislatif (kekuasaan membuat undang-undang).
3) Kekuasaan yudikatif (kekuasaan peradilan).

Demikian juga pada rakut sitelu adalah merupakan pembagian kekuasaan dan tugas serta wewenang sebagai berikut :
1) Senina/sembuyak, sebagai kekuasaan eksekutif.
2) Kalimbubu, sebagai legislatif.
3) Anak Beru, sebagai yudikatif.

Adapun fungsi masing-masing unsur tersebut adalah sebagai berikut :
1) Senina, sebagai penyedia sarana yang dibutuhkan anak beru.
2) Kalimbubu, sebagai supremasi keadilan dan kehormatan.
3) Anak Beru, sebagai pelaksana tugas.

Tugas dan kewajiban dari Rakut Sitelu :
1) Senina, yaitu :
ü Mengawasi pelaksanaan tugas anak beru
ü Secara bersama-sama menanggung biaya pesta

2) Kalimbubu, yaitu :
ü Menyelesaikan perselisihan anak berunya
ü Sebagai lambang supremasi kehormatan keluarga

3) Anak Beru, yaitu :
ü Mengatur jalannya pembicaraan musyawarah adat.
ü Menyiapkan makanan dan minuman di pesta.
ü Menyiapkan semua peralatan yang dibutuhkan.
ü Menanggung biaya sementara apabila belum cukup.
ü Menanggung aib kalimbubunya & harus menerimanya dengan rela seperti terjadi apabila puteri kalimbubu mendapat aib dan tidak ada yang bertanggung jawab atasnya.
ü Mengawasi segala harta milik kalimbubunya.
ü Mengatur pertemuan keluarga.

Hak Rakut Sitelu :
1) Senina, yaitu :
ü Mendapat pembagian harta.
ü Dalam hal anak wanita kawin berhak mendapat mas kawin.

2) Kalimbubu, yaitu :
ü Berhak mendapat segala kehormatan dari anak berunya.
ü Dapat memaksakan kehendaknya kepada anak berunya.

3) Anak Beru, yaitu :
ü Berhak mengawini puteri-puteri kalimbubunya, Dalam hal ini kalimbubu tidak dapat menolaknya terlepas apakah kalimbubu setuju atau tidak.
ü Dalam pembagian warisan kalimbubunya yang meninggal dunia, anak beru berhak mendapat maneh-maneh atau morah-morah, berupa alat-alat bekerja, seperti parang, pisau dan lain-lain.
ü Dalam pembagian maneh-maneh atau morah-morah biasanya diberikan baju almarhum yang sering dipakainya sebagai kenang-kenangan.
Menurut dari hasil wawancara dengan para responden dapat diketahui bahwa perkawinan semarga dalam klan Sembiring pada masyarakat Karo sudah dapat dilakukan sejak dulu, namun tidak ada yang dapat memberikan keterangan yang pasti tahun berapakah perkawinan semarga dalam klan Sembiring pada masyarakat Karo pertama kali terjadi. Bahkan tidak jarang dari beberapa responden tidak mengetahui alasan yang menyebabkan perkawinan semarga dalam klan Sembiring pada masyarakat Karo boleh dilakukan.

Dari hasil dari wawancara dengan Raja Metehsa Sebayang, salah satu pengetua adat menyatakan bahwa perkawinan semarga dalam klan Sembiring pada masyarakat Karo sebenarnya terjadi karena adanya perbedaan keturunan dalam klan Sembiring. Dimulai dengan masuknya bangsa India Tamil yang lebih dikenal dengan nama India Belakang dengan tujuan berdagang ke Tanah Karo. Orang-orang India Belakang mempunyai kulit berwarna hitam sehingga dipanggil oleh masyarakat Karo setempat dengan si mbiring yang artinya si hitam sedangkan marga Sembiring sendiri memang telah ada.

Panggilan si mbiring tersebut lama kelamaan melekat terhadap orang India Belakang yang telah menetap lama di wilayah Karo dan kemudian menjadi marga mereka. Dengan demikian, orang India Belakang akhirnya diangkat menjadi saudara bagi marga Sembiring asli yang berasal dari Bangko, Jambi sehingga konsekwensinya adalah harus mengikuti segala aturan yang ada pada adat Karo.

Masalah timbul pada perkawinan disebabkan kondisi orang India Belakang yang hitam, jelek, dan pesek maka orang Karo asli jarang bahkan kadang tidak ada yang mau kawin dengan mereka sehingga setelah diadakan musyawarah antara orang India Belakang yang telah bermarga Sembiring dengan pengetua adat akhirnya diperbolehkan terjadi kawin mengawini antara mereka.

Marga Sembiring yang ada pada masyarakat Karo secara umum membagi diri atas dua kelompok, yaitu :
A. Si man Biang (yang memakan anjing) terdiri dari :
  1. Sembiring Kembaren, (asal usul marga ini dari Kuala Ayer Batu, kemudian pindah ke Pagaruyung terus ke Bangko di Jambi dan selanjutnya ke Kutungkuhen di Alas. Nenek moyang mereka bernama Kenca Tampe Kuala berangkat bersama rakyatnya menaiki perahu dengan membawa pisau kerajaan bernama “pisau bala bari”. Keturunannya kemudian mendirikan Kampung Silalahi, Paropo, Tumba dan Martogan yang menyebar ke Liang Melas, seperti Kuta Mbelin, Sampe Raya, Pola Tebu, Ujong Deleng, Negeri Jahe, Gunong Meriah, Longlong, Tanjong Merahe, Rih Tengah, dan lain-lain. Marga ini juga tersebar luas di Kabupaten Langkat seperti Lau Damak, Batu Erjong-jong, Sapo Padang, Sijagat dan lain-lain).
  2. Sembiring Keloko, (menurut cerita, Sembiring Keloko masih satu keturunan dengan Sembiring Kembaren. Marga Sembiring Keloko tinggal di Rumah Tualang sebuah desa yang sudah ditinggalkan antara Pola Tebu dengan Sampe Raya. Marga ini sekarang terbanyak tinggal di Pergendangen, beberapa keluarga di Buah Raya dan Limang).
  3. Sembiring Sinulaki, (sejarah Marga Sembiring Sinulaki dikatakan juga sama dengan sejarah Sembiring Kembaren karena mereka masih dalam satu rumpun. Marga Sinulaki berasal dari Silalahi).
  4. Sembiring Sinupayung, marga ini menurut cerita bersaudara dengan Sembiring Kembaren. Mereka ini tinggal di Juma Raja dan Negeri).
B. Si la man Biang (yang tidak memakan anjing) atau Sembiring Singombak terdiri dari :
  1. Sembiring Brahmana
    Menurut cerita lisan Karo, nenek moyang merga Brahmana ini adalah seorang keturunan India yang bernama Megitdan pertama kali tinggal di Talu Kaban. Anak-anak dari Megit adalah, Mecu Brahmana yang keturunannya menyebar ke Ulan Julu, Namo Cekala, dan kaban Jahe. Mbulan Brahmana menjadi cikal bakal kesain Rumah Mbulan Tandok Kabanjahe yang keturunannya kemudian pindah ke Guru Kinayan dan keturunannya mejadi Sembiring Guru Kinayan. Di desa Guru Kinayan ini merga Brahmana memperoleh banyak kembali keturunan. Dari Guru Kinayan, sebagian keturunananya kemudian pindah ke Perbesi dan dari Perbesi kemudian pindah ke Limang.
  2. Sembiring Guru Kinayan
    Sembiring Guru Kinayan terjadi di Guru Kinayan, yakni ketika salah seorang keturunan dari Mbulan Brahmana menemukan pokok bambo bertulis (Buloh Kanayan Ersurat). Daun bambo itu bertuliskan aksara Karo yang berisi obat-obatan. Di kampung itu menurut cerita dia mengajar ilmu silat (Mayan) dan dari situlah asal kata Guru Kinayan (Guru Ermayan). Keturunannya kemudian menjadi Sembiring Guru Kinayan.
  3. Sembiring Colia
    Merga Sembiring Colia, juga menurut sejarah berasal dari India, yakni kerajaan Cola di India. Mereka mendirikan kampung Kubu Colia.
  4. Sembiring Muham
    Merga ini juga dikatakan sejarah, berasal dari India, dalam banyak praktek kehidupan sehari-hari merga ini sembuyak dengan Sembiring Brahmana, Sembiring Guru Kinayan, Sembiring Colia, dan Sembiring Pandia. Mereka inilah yang disebut Sembiring Lima Bersaudara dan itulah asal kata nama kampung Limang. Menurut ahli sejarah Karo. Pogo Muham, nama Muham ini lahir, ketika diadakan Pekewaluh di Seberaya karena perahunya selalu bergempet (Muham).
  5. Sembiring Pandia
    Sebagaimana sudah disebutkan di atas, bahwa merga Sembiring Pandia, juga berasal dari kerajaan Pandia di India. Dewasa ini mereka umumnya tinggal di Payung.
  6. Sembiring Keling
    Menurut cerita lisan Karo mengatakan, bahwa Sembiring Keling telah menipu Raja Aceh dengan mempersembahkan seekor Gajah Putih. Untuk itu Sembiring Keling telah mencat seekor kerbau dengan tepung beras. Akan tetapi naas, hujan turun dan lunturlah tepung beras itu, karenanya terpaksalah Sembiring Keling bersembunyi dan melarikan diri. Sembiring Keling sekarang ada di Raja Berneh dan Juhar.
  7. Sembiring Depari
    Sembiring Depari menurut cerita menyebar dari Seberaya, Perbesi sampai ke Bekacan (Langkat). Mereka ini masuk Sembiring Singombak, di daerah Kabupaen Karo nama kecil (Gelar Rurun) anak laki-laki disebut Kancan, yang perempuan disebut Tajak. Sembiring Depari kemudian pecah menjadi Sembiring Busok. Sembiring Busok ini terjadi baru tiga generasi yang lalu. Sembiring Busok terdapat di Lau Perimbon dan Bekancan.
  8. Sembiring Bunuaji
    Merga ini terdapat di Kuta Tengah dan Beganding.
  9. Sembiring Milala
    Sembiring Milala, juga menurut sejarah berasal dari India, mereka masuk ke Sumatera Utara melalui Pantai Timur di dekat Teluk Haru. Di Kabupaten Karo penyebarannya dimulai dari Beras Tepu. Nenek moyang mereka bernama Pagit pindah ke Sari Nembah. Merka umumnya tinggal di kampung-kampung Sari Nembah, Raja Berneh, Kidupen, Munte, Naman dan lain-lain. Pecahan dari merga ini adalah Sembiring Pande Bayang.
  10. Sembiring Pelawi
    Menurut cerita Sembiring Pelawi diduga berasa dari India (Palawa). Pusat kekuasaan merga Pelawi di wilayah Karo dahulu di Bekancan. Di Bekancan terdapat seorang Raja, yaitu Sierkilep Ngalehi, menurut cerita, daerahnya sampai ke tepi laut di Berandan, seperti Titi Pelawi dan Lau Pelawi. Di masa penjajahan Belanda daerah Bekancan ini masuk wilayah Pengulu Bale Nambiki. Kampung-kampung merga Sembiring Pelawi adalah : Ajijahe, Kandibata, Perbesi, Perbaji, Bekancan dan lain-lain.
  11. Sembiring Sinukapor
    Sejarah merga ini belum diketahui secara pasti, mereka tinggal di Pertumbuken, Sidikalang, dan Sarintonu.
  12. Sembiring Tekang
    Sembiring Tekang dianggap dekat/bersaudara dengan Sembiring Milala. Di Buah Raya, Sembiring Tekang ini juga menyebut dirinya Sembiring Milala. Kedekatan kedua merga ini juga terlihat dari nama Rurun anak-anak mereka. Rurun untuk merga Milala adalah Jemput (laki-laki di Sari Nembah) / Sukat (laki-laki di Beras Tepu) dan Tekang (wanita). Sementara Rurun Sembiring Tekang adalah Jambe (laki-laki) dan Gadong (perempuan). Kuta pantekennya adalah Kaban, merga ini tidak boleh kawin-mengawin dengan merga Sinulingga, dengan alasan ada perjanjian, karena anak merga Tekang diangkat anak oleh merga Sinulingga.
Adanya perbedaan antara Sembiring Siman Biang dengan Sembiring Si La Man Biang sebenarnya menurut Jaman Tarigan, seorang pengetua adat adalah merupakan kelanjutan kisah dari pelarian Sembiring Keling setelah menipu Raja Aceh yaitu dengan mempersembahkan seekor gajah putih padahal sesungguhnya adalah seekor kerbau yang dicat dengan tepung beras. Namun, pada saat mempersembahkannya hujan turun sehingga tepung beras yang melumuri kerbau tersebut luntur sehingga ia harus melarikan diri.

Dalam pelariannya ia menemukan jalan buntu dan satu-satunya jalan hanya menyeberangi sungai. Sembiring Keling tersebut tidak dapat berenang sehingga ia bersumpah siapapun yang dapat menolongnya akan diberi imbalan yang sesuai. Ternyata ada seekor anjing yang menolongnya sehingga ia selamat sampai ke seberang dan dapat meloloskan diri dari kejaran pasukan Raja Aceh. Setelah diselamatkan oleh anjing ia akhirnya bersumpah bahwa ia, saudara-saudara dan keturunannya tidak akan memakan anjing sampai kapanpun.

Akibat dari sumpahnya akhirnya semua Marga Sembiring yang berasal dari India Belakang beserta keturunannya ikut menanggung akibatnya sampai saat ini, yaitu apabila ada keturunan Sembiring Simantangken Biang yang memakan anjing maka akan mengalami gatal-gatal di tubuhnya.
Untuk memahami ada istiadat Karo kita harus terlebih dahulu memahami tentang Sangkep Nggeloh pada Merga Silima (Lima Marga), karena dalam setiap pelaksanaan adat istiadat yang berperan adalah Sangkep Nggeloh.

Sangkep Enggeloh adalah suatu system kekeluargaan pada masyarakat Karo yang secara garis besar terdiri dari Kalimbubu, Senina, dan Anak Beru (Tribal Collibium). Kalimbubu dari Kalimbubu oleh Anak Beru disebut Puang Kalimbubu dan sebaliknya Puang Kalimbubu memanggil Anak Beru dari Anak Berunya adalah Anak Beru Mentri. Perkawinan dalam adat Karo berlangsung antara anak laki-laki dari Anak Beru dengan anak gadis/perempuan dari Kalimbubu.

Dalam tutor Kalimbubu ini adalah pihak yang sangat dihormati dan secara kebiasaan disebut sebagai Dibata Ni Idah (Tuhan yang kelihatan). Adalah suatu aib bagi seseorang yang berani membantah Kalimbubu, karena hal tersebut tabu bagi masyarakat Karo. Anak Beru wajib menjaga harkat dan martabat Kalimbubu.

Begitu tingginya penghargaan seorang Anak Beru terhadap Kalimbubunya sehingga bilamana ada aib yang menimpa anak gadis Kalimbubu misalnya ; hamil tanpa ada yang bertanggung jawab maka pihak Anak Beru harus mau mengawini anak gadis tersebut.

Perkawinan dalam adat Karo dilakukan dengan sistem berputar halmana menyebabkan setiap orang akan berkedudukan atau berfungsi sebagai Anak Beru, Sembuyak, Kalimbubu, Puang Kalimbubu, dan Anak Beru Menteri. Tegasnya setiap orang/marga dari orang Karo pasti pernah menjabat sebagai Kalimbubu tanpa terkecuali. Oleh karena itu maka setiap orang Karo pernah mendapat predikat “Dibata Ni Idah”. Didalam acara menari adat dalam pesta perkawinan dan upacara kematian misalnya Anak Beru harus membungkuk menghormati Kalimbubu tersebut.
Perkawinan dalam adat Karo menganut sistem exogami yakni hanya bisa dilakukan antara seorang pria dan wanita yang tidak semarga (segaris keturunan) dan perkawinan tersebut bersifat religius, namun ada pengecualian pada marga Perangin-angin dan Sembiring.

Sifat religius dari perkawinan masyarakat Karo terlihat dengan adanya perkawinan tersebut bukan saja hanya mengikat kedua belah pihak yang melakukan perkawinan itu, tetapi juga mengikat seluruh keluarga mempelai laki-laki dan mempelai perempuan termasuk arwah-arwah leluhur mereka.

Dengan demikian maka perkawinan adalah menetapkan ikatan lahir batin antara suami istri dan seluruh keluarga dan arwah-arwah para leluhur mereka.
Oleh karena hal diatas maka proses perkawinan juga melibatkan sanak saudara kedua belah pihak yang sudah terbagi menurut tutur yakni sembuyak, kalimbubu dan anak beru yang dalam sistem kekerabatan Karo sudah ditentukan fungsinya masing-masing.

Bila seorang pria saling mencintai dengan seorang wanita dan keduanya bersepakat untuk melangsungkan ke jenjang perkawinan maka harus melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:
  1. Maba Belo Selambar
  2. Nganting Manok
  3. Mukul
Acara Maba Belo Selambar, adalah suatu upacara untuk meminang seorang gadis menurut adapt Karo yang bertujuan untuk menanyakan kesediaan si gadis dan orangtuanya beserta seluruh sanak saudara terdekat yang sudah ada peranannya masing-masing menurut adat Karo.

Dalam acara ini pihak keluarga pria mendatangi keluarga perempuan dan untuk sarana Maba Belo Selambar tersebut pihak pria membawa:
  1. Kampil Pengarihi / Kampil Pengorati
  2. Penindih Pudun, Uis Arinteneng, Pudun dan Penindiken Rp. 11.000,00 agar supaya acara menanyakan kesediaan si gadis dapat dimulai maka terlebih dahulu dijalankan Kampil Pengarihi / Kampil Pengorati kepada keluarga pihak perempuan yang artinya sebagai permohonan kepada pihak keluarga perempuan agar bersedia menerima maksud kedatangan pihak pria. Bilamana kedatangan pihak pria sudah dimengerti maksudnya dan pihak keluarga perempuan bersedia menerima pinangan tersebut maka dibuatlah pengikat janji (penindih pudun) berupa uang dan ditentukan kapan akan diadakan acara selanjutnya yaitu Nganting Manok. Pada waktu penyerahan uang penindih pudun tersebut uang dimaksud diletakan pada sebuah piring yang dilapisi dengan uis arinteneng (sejenis kain ulos).
Acara Nganting Manok, adalah merupakan musyawarah adat antara keluarga pengantin pria dan wanita guna membicarakan ganta tumba/unjuken ras mata kerja yang artinya adalah tentang masalah pesta dan pembayaran (uang mahar) yang harus diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak keluarga perempuan.

Dalam adat masyarakat Karo didalam membuat atau merancang suatu pesta ada hak dan kewajiban dari pihak-pihak Kalimbubu (pihak perempuan) yang terdiri dari, Singalo bere-bere, Singalo perkempun, Singalo perbibin.
Pihak Kalimbubu berhak menerima tukor (uang mahar) dari pihak laki-laki yang kawin tersebut dan disamping itu berkewajiban pula membayar utang adat berupa kado (luah) kepada pengantin. Hak dari Kalimbubu tadi antara satu daerah/wilayah dengan wilayah yang lain bias berbeda jumlahnya tergantung kebiasaan setempat.

Kalau didaerah wilayah Singalor Lau
(Tiga Binanga) yang harus diberikan kepada Kalimbubu Singalo Bere-Bere Rp. 86.000, Kalimbubu Singalo Perkempun Rp. 46.000, dan Kalimbubu Singalo Perbibin Rp. 24.000 . Tapi bilamana yang melakukan perkawinan tersebut dianggap keturunan ningrat (darah biru / Sibayak) dan berada (kaya) maka uang mahar diatas biasa ditambahi dengan jumlah tertentu sesuai kesepakatan.

Tetapi hal ini tidak terjadi patokan karena tidak ada keharusan membayarkan uang tersebut tetapi hal dimaksud hanya sekedar sebuah penghargaan (jile-jile) atau sebuah pernyataan kepada masyarakat bahwa yang kawin tersebut bukan orang sembarangan. Sesungguhnya uang mahar tadi masih ada yang berhak tetapi sesuai tujuan tulisan yang akan diulas hanyalah uang mahar yang menjadi hak dari Kalimbubu pihak perempuan tersebut. Disisi lain pihak Kalimbubu ini juga mempunyai kewajiban untuk membawa kado (luah).
Kado (luah) KALIMBUBU SINGALO BERE-BERE, berupa:
  • Lampu Menyala, maknanya adalah agar rumah tangga (jabu) yang baru dibentuk tersebut menjadi terang kepada sanak keluarga (kade-kade) pada khususnya dan terhadap semua orang pada umumnya.
  • Kudin Perdakanen ras Ukatna, maknanya adalah sebagai modal awal membangun rumah tangga baru tersebut dengan harapan agar kedua pengantin rajin bekerja mencari makan.
  • Pinggan Perpanganen, maknanya adalah agar kedua mempelai mendapat berkat dari Yang Maha Kuasa.
  • Beras Meciho (page situnggong tare mangkok dan naroh manok kemuliaan), maknanya adalah agar kedua mempelai tersebut selalu serasi dan mendapatkan kemuliaan.
  • Manok Asuhen (manok pinta-pinta), maknanya adalah agar keluarga yang baru tersebut diberi rezeki yang baik dan apapun yang dicita-citakan berhasil.
  • Amak Dabuhen (amak tayangen ras bantal), maknanya adalah agar keluarga baru tersebut dapat menikmati kebahagiaan.
Demikian juga SINGALO PERKEMPUN membawa kado (luah) berupa:
  • Satu buah amak (amak cur)
  • Satu buah bantal
  • Satu ekor ayam (manok asuhen)
  • Dua buah piring
Seterusnya SINGALO PERBIBIN akan memberikan kado (luah) berupa:
  • Selembar uis gara (perembah pertendin)
  • Selembar tikar kecil (amak cur)
Setelah acara pesta selesai diadakan, dilanjutkan dengan acara makan bersama (mukul) kedua pengantin yang dibarengi sanak keluarga terdekat. Acara ini diadakan dirumah kedua pengantin dan kalau rumahnya belum ada, diadakan dirumah orang tua pengantin laki-laki tetapi kalau didaerah Langkat acara mukul ini diadakan dirumah pengantin perempuan. Acara ini dilaksanakan sebagai upacara mukul atau persada tendi (mempersatukan roh) antara kedua suami istri baru tersebut. Untuk acara tersebut oleh Kalimbubu Singalo Bere-Bere disiapkan Manok Sangkep berikut sebutir telur ayam.

Untuk tempat makan disiapkan pinggan pasu beralaskan uis arinteneng diatas amak cur. Didaerah Langkat acara Mukul ini diawali dengan kedatangan kedua pengantin dan rombongan dari rumahnya menuju rumah orangtua pengantin perempuan dan sesampai dipintu rumah orangtua pengantin perempuan, kedua pengantin berhenti sejenak untuk ditepung tawari dengan ngamburken beras meciho kepada kedua pengantin. Hadirin lalu “ralep-alep” dan “ndehile” dan ketika nepung wari (njujungi beras) ini Kalimbubu memberi petuah atau berkat (pasu-pasu) : “Enda amburi kami kam alu beras meciho, maka piher pe beras enda, piherenlah tendi ndu duana”. (ini kami hamburkan/tuangi kalian dengan beras putih bening, karena itu keras(kuat) pun beras ini lebih keras(kuat) Roh kalian berdua.

Setelah itu baru masuk kerumah dan dilanjutkan dengan acara suap-suapan antara kedua pengantin. Bibi pengantin kemudian memberi sekepal nasi kepada masing-masing pengantin dan si suami menyuapkan nasi yang ditangannya ke mulut istrinya, lalu diikuti si istri menyuapkan nasi yang ditangannya ke mulut suaminya. Sebelum makan biasanya makanan ayam dan telur sebutir untuk kedua pengantin tersebut diramal dulu maknanya oleh guru (dukun/paranormal) dan biasanya guru tersebut meramalkan masa depan kedua suami istri yang baru tersebut.

Bahwa didalam semua upacara adat Karo dalam proses melamar, membayar utang adat kepada Kalimbubu semua sarana-sarana kelengkapan adat seperti misalnya belo bujur diletakkan diatas uis arinteneng yang diletakan diatas piring dan amak cur. Belo bujur ini bermakna supaya diberkati Tuhan dan uis arinteneng tersebut bermakna supaya roh-roh menjadi tenang.

Melihat proses-proses perkawinan tersebut penuh dengan simbol-simbol yang bermakna kepercayaan maka benarlah hasil penelitian A. Van Gennep seorang Sosiolog bangsa Perancis yang mengatakan perkawinan pada masyarakat Karo adalah bersifat religius. Dan seperti apa yang dikutip oleh Darwan Prinst S.H, dalam bukunya adat Karo sifatnya religius dari perkawinan adat Karo dimaksud terlihat dengan adanya perkawinan maka perkawinan tersebut tidak hanya mengikat kedua belah pihak yang hadir saja, tapi juga mengikat keseluruhan keluarga kedua-kedua belah pihak termasuk arwah-arwah leluhur mereka.

Oleh karena itu dapatlah disimpulkan bahwa upacara-upacara perkawinan masyarakat Karo bersifat religius atau merupakan sebuah rangkaian upacara-upacara agama yang penuh dengan simbol-simbol berbagai makna yang bersifat kepercayaan, dan pada saat itu nenek moyang masyarakat Karo beragama Pemena (penyembah berhala). Adat Karo sudah ada sejak dahulu kala atau setidak-tidaknya jauh sebelum Injil memasuki wilayah Karo.
Upacara Tebus Uban diadakan bagi orang yang sudah tua (uzur), dimana dalam upacara ini digabungkan dua acara adat yakni Ngembahken Nakan (mengantarkan makanan) dan pesta adat kematian (ndungi adat).

Dalam acara ini diawali dengan memberi makan kepada orang tua yang sudah uzur tersebut dan setelah selesai maka acara dilanjutkan dengan upacara kematian (gendang adat cawir metua).

Dalam acara ini pihak yang diadati tersebut membayar segala hutang-hutang adatnya kepada Kalimbubu sebagaimana adat kebiasaan terhadap orang yang sudah meninggal dunia.

Oleh karena itu sebenarnya orang yang diadati tersebut secara simbolis dianggap sudah meninggal walaupun pada kenyataannya ia masih hidup. Upacara Tebus Uban ini biasanya dilakukan orang tua yang kurang yakin akan kesanggupan anak-anaknya melakukan upacara adat ini secara benar. Karena itu ada kekhawatiran nanti setelah ia meninggal perjalanannya menuju sorga akan terhalang dan karena itulah maka selagi ia hidup upacara dilaksanakan agar ia dapat mengawasinya.
atau Maba Manok Mbor adalah suatu upacara “nujuh bulan” bagi seorang wanita yang sedang hamil. Upacara adat ini bila dilakukan terhadap wanita yang mengandung anak pertama disebut dengan Mesur-Mesuri dan bilamana dilakukan untuk anak kedua dan seterusnya disebut Maba Manok Mbor atau Mecah-Mecah Tinaroh.

Tujuan dari upacara ini adalah untuk mempersiapkan si ibu secara psikis agar selamat dalam melahirkan bayinya. Maksudnya adalah barangkali ada tekanan-tekanan psikis selama ini yang dialami oleh calon ibu dalam rumah tangganya baik oleh suaminya, mertuanya dan keluarga dekat lainnya.

Bilamana hal ini ada maka diadakanlah penyelesaian terlebih dahulu secara adat kekeluargaan dalam arti saling maaf-memaafkan agar si calon ibu tersebut dalam melahirkan bayinya dalam keadaan sehat sejahtera dan selamat.
Peralatan-peralatan yang diperlukan dalam upacara tersebut adalah:
  1. Sebuah pinggan pasu tempat mukul.
  2. Uis teba/arinteneng untuk lanam pinggan pasu.
  3. Belo cawer ditaruh di bawah pinggan.
  4. Amak cur untuk tempat duduk.
  5. Ayam untuk sangkep.
Upacara mesur-mesuri tersebut diawali dengan ayam sangkep ditaruh diatas pinggan pasu beralaskan uis arinteneng dan belo cawer. Ayam sangkep ditata secara lengkap (utuh) dan ditambahkan dengan sebutir telur ayam.
Kemudian wanita yang hamil tujuh bulan tersebut beserta suaminya di dudukan diatas amak cur (tikar) lalu diberi makan dengan lauk ayam sangkep serta telur tersebut. Barulah setelah mereka makan, maka keluarga (
sangkep enggeluh) yang hadir makan secara bersama-sama.

Selesai makan maka dilanjutkan dengan musyawarah keluarga (runggun) untuk membicarakan hal-hal sebagai berikut:
  • Makna dari telajor ayam sangkep yang telah diteliti/diramal maknanya.
  • Menek-memenek (saling kecewa satu sama lain/akar pahit) antara satu sama lain dalam kalangan keluarga (suami istri, orang tua, dsb).
  • Keinginan yang belum tercapai.
Bilamana ada masalah-masalah diatas dibukakan, maka pihak keluarga berusaha memberikan saran-saran (nasihat) bagaimana menyelesaikan masalah tersebut secara kekeluargaan dengan dasar kekelengen (kasih).
Cabur Bulong adalah suatu upacara perkawinan semu antara anak perempuan Kalimbubu dengan anak lelaki dari Anak Beru semasa masih kanak-kanak. Upacara ini biasanya dilakukan untuk menolak bala bilamana ada anak Kalimbubu ataupun anak dari pihak Anak Beru yang sering sakit-sakitan misalnya.

Jadi untuk menghindari bahaya kematian atas si anak yang sakit-sakitan tersebut dikiasi dengan cara kawin semu sebagai upaya penolak bala. Sebelum diadakan perkawinan semu tersebut biasanya dilakukan penelaah (dirasikan) apakah anak-anak yang akan dikawinkan tersebut serasi atau tidak. Bilamana menurut telaah (ramalan) serasi barulah diadakan perkawinan Cabur Bulong tersebut.

Upacara perkawinan dilakukan seperti acara Mukul dimana kedua pengantin disatukan makan (Mukul) dengan lauk Ayam Sangkep dan di osei kain adat kemudian Uang Jujuren diserahkan kepada Kalimbubu (orang tua si anak perempuan). Oleh karena itu sesungguhnya terhadap kedua anak tersebut telah melekat/diikat oleh adat perkawinan





https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhHicLYX7T8ZDzkyBuARjiV0aAWLsTjQ2ETgfZrXSFuz0o28fouWTW6ufZSEWINQ0g96HrN8KrUQRPDITI0fQQG8o6BzKEE8Sqc47p4nb88Edfe3cc9ZvqaKLdZsAfX2Vqs4EdWXA0nvfHy/s200/Upacara+Kematian.jpg

Kematian dalam adat Karo secara umum dibagi dalam 3 (tiga) jenis yakni ;
  1. Cawir Metua, adalah apabila umur yang meninggal tersebut sudah lanjut dan anak-anaknya semua sudah berkeluarga (menikah) dan sudah pula diupacarai dengan acara “Ngembahken Nakan” (memberi makan orang tua yang sudah uzur atau lama sakit dan dianggap kecil kemungkinan untuk sembuh) .
  2. Tabah-Tabah Galoh, merupakan kematian yang belum berumur lanjut, akan tetapi anak-anaknya sudah berkeluarga (menikah) semua.
  3. Mate Nguda, adalah suatu kematiaan ketika masih berusia muda, belum menikah dan bila sudah menikah, anak-anaknya belum menikah semua.

Sedangkan dipandang dari penyebab kematian dibagi dalam 9 (sembilan) jenis yakni ;
  1. Mati dalam kandungan, roh yang mati tersebut disebut Batara Guru.
  2. Mati belum dikenal kelaminnya (prematur), rohnya disebut Guru Batara atau Sabutara.
  3. Mati sesudah lahir, roh yang mati tersebut disebut Bicara Guru.
  4. Mati belum tumbuh gigi, anak yang mati ini harus dikubur, dibungkus dengan kain putih (dagangen) dikeluarkan dari rumah adat dari pintu perik (jendela), seseorang menjulurkannya dari rumah dan yang lainnya menerimanya dari luar, penguburannya harus secara rahasia karena takut dicuri orang. Menurut kepercayaan orang-orang yang percaya pada ilmu gaib mayat bayi yang belum tumbuh gigi tersebut dapat dipergunakan untuk kelengkapan ilmu gaib (misalnya Puko = Aji Sirep). Konon Aji Sirep ini digunakan oleh maling-maling atau rampok agar penghuni rumah yang mau dirampoknya dalam keadaan tertidur pulas sehingga dia bebas beraksi.
  5. Anak-anak mati telah tumbuh gigi.
  6. Mati perjaka/gadis, pada kematian yang seperti ini bila dia perjaka, Anak Beru akan memasukkan kemaluan yg meninggal ini pada seruas bambu dan bila yang meninggal gadis, maka pada kemaluannya akan dimasukan tongkol jagung disertai ucapan: “Enda sekerajangenmu” (ini bagianmu). Adapula yang menyebutkan, “Enggo pejabu kami kam, enggo sai utang kami” (anda telah kami kawinkan, karena itu kewajiban kami telah selesai). Kata-kata enda sekerajangenmu (ini bagianmu) oleh sebagian orang dipercayai agar roh yang meninggal ini tidak penasaran/ngiler (teran) karena belum merasai “sorga dunia” (hubungan intim suami istri). Dan kata-kata, “Enggo pejabu kami kam, enggo sai utang kami” dari Anak Beru yang merupakan suatu pernyataan dari Anak Beru yang mengatakan tugasnya sudah selesai untuk mengantarkan/mengurus anak kalimbubunya sampai kejenjang pernikahan.
  7. Mati melahirkan, (sirang ture)
  8. Mati kayat-kayaten, (sakit-sakitan)
  9. Mate sada wari, (meninggal karena kecelakaan), kuburan orang ini dipisahkan dari kuburan umum dan biasanya dibuat dekat rumah ditanami galoh dan dipuja.

Bahwa dari rupa-rupa kematian diatas pelaksanaan adatnya ada kalanya ada tambahan-tambahan khusus tapi ucapara gendangnya hampir sama. Tambahan-tambahan khusus tersebut misalnya seperti terhadap kematian perjaka atau gadis pada kemaluan laki-laki dipasang ruas bambu dan pada kemaluan gadis dimasukan tongkol jagung. Tadi telah diuraikan bahwa pada kematian yang disebabkan keadaan-keadaan yang berbeda maka roh yang mati

Gendang Adat Nuruken Simate (Gendang Penguburan), sebagian mayat dikuburkan diadakan pesta adat penguburan dan setelah mayat dibawa dari rumah ke kesain, terlebih dahulu keluarga dekat dan anak rumah membuat sirang-sirang yakni kuku kaki dan tangan dikikis dipasang pada daun sirih dan dimasukan kedalam peti mati.

Dilanjutkan dengan Erpangir bas pas-pasen (halaman teras rumah) bagi si janda atau duda yang ditinggal mati dilangir dengan lau penguras (air jeruk purut, jera) dan tentu saja dengan mantra-mantra tertentu.

Kemudian acara dilanjutkan dengan tek-tek ketang, dimana diambil sebilah rotan ditaruh bantalan kayu dan dipotong dengan pisau (parang/sekin) sekali tetak dengan tangan kiri.
Menurut kepercayaan bilamana dengan sekali tetak rotan tidak putus maka janda atau duda yang ditinggal mati tak lama lagi akan menyusul yang mati alias meninggal dunia pula.

Acara kemudian dilanjutkan dengan Gendang Jumpa Teroh, tapi bagi sebagian daerah hal ini tidak ada.
Kemudian acara dilanjutkan dengan upacara Gendang Nangketken Ose.

Menurut adat Karo, pertama kalinya gendang dilaksanakan tanpa diikuti penari-penari (gendang dibuang sekali).
Gendang ini adalah acara bagi roh-roh leluhur yang sudah meninggal dunia, tapi sekarang gendang ini disebut Gendang Pesikapen (bersiap-siap).











https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhjioLseYVIAjJsT6_ovy-Q5nhoKNxHFq2CLOn0vfWT1fDq4s9CVUXx_-hnhOz8ex_MhUJD6du04mQ9rfmuate1H9lvP8ED73mFPo2rE3iLM9C6t6eneCynm-MlPuSzlst0hyWu2VJU14Ix/s200/Upacara+Perumah+Begu.jpg
Setelah selesai acara penguburan, pada malam harinya roh yang meninggal tersebut dipanggil melalui Guru Sibaso
(dukun yang lehernya bisa mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu dan bisa ditafsirkan oleh dukun tersebut).
Acara ini dilakukan setelah makan malam, dan acara tersebut diiringi oleh musik (gendang).

Acaranya dimulai dengan tabuhan gendang perang sebanyak empat kali berturut-turut sebagai berikut :
  1. Gendang perang pertama dibuang (tidak ada yang menari) dahulu di peruntukan bagi roh-roh leluhur yang telah meninggal dunia terlebih dahulu, tetapi sekarang disebut sebagai Gendang Persikapken (siap-siap).
  2. Gendang perang kedua menari sukut, sembuyak, senina.
  3. Gendang perang ketiga menari kalimbubu, puang kalimbubu.
  4. Gendang perang keempat menari anak beru dan anak beru mentri.
Selesai Gendang perang empat kali tersebut, maka menari Guru Sibaso agar ia kesurupan roh dari yang telah meninggal dunia tersebut dan juga roh-roh keluarga yang telah meninggal dunia terlebih dahulu.

Biasanya melalui guru (dukun) tersebut roh yang baru meninggal tersebut ataupun roh para keluarga yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dimaksud akan berbicara melalui guru/dukun tersebut.
Sang guru akan berbicara tentang kesan dan pesan keluarga yang baru ditinggalkan dan biasanya tentang peristiwa-peristiwa masa lalu yang berkesan dan kemudian memberi pesan-pesan tertentu kepada keluarga yang ditinggalkan.

Upacara-upacara yang seperti ini dan biasanya sang Guru Sibaso tersebut sebelum acara dimulai melakukan sejumlah penyelidikan kepada keluarga yang baru meninggal tersebut. Hal-hal terutama yang diselidiki adalah kebiasaan-kebiasaan si meninggal dan keluarga dekatnya, sifat-sifatnya dan segala hal ihwal dari keluarga tersebut.


Dan ketika roh-roh yang dipanggil tersebut sudah datang, dan berbicara melalui Guru Sibaso dimaksud maka segala apa yang telah diselidiki terlebih dahulu itu keluar dari mulut Guru Sibaso tersebut yang seolah-olah roh si matilah yang berbicara.
Njujungi Beras Piher adalah suatu upacara yang dilakukan bagi seseorang sebagai ucapan syukur dan berkat untuk keselamatan karena seseorang tersebut telah berhasil dalam menjalankan tugas atau misi tertentu,
atau luput dari kecelakan atau marabahaya, sembuh dari penyakit parah, terkabul cita-citanya dan lain sebagainya.
Adapun peralatan-peralatan yang dipergunakan dalam acara tersebut adalah:
  1. Beras Page Situnggong, yang bermakna untuk keharmonisan, keseimbangan dan kejujuran
  2. Lada (merica), melambangkan ersada kata (persatuan)
  3. Garam (sira), melambangkan kewibawaan (masin kata)
  4. Uis Arinteneng, melambangkan ketentraman (teneng tendi i rumah)
  5. Tumba Rempu Kuling-Kuling, melambangkan Sangkep Enggeloh (hidup sempurna)
  6. Telur Ayam, melambangkan pengaruh
  7. Belo Bujur (sirih), melambangkan persembahan kepada Yang Maha Esa
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjpQkCgkHpUYuX7It7dRA2B274mmgII8JanbpolA41PntyY4dC0tGIUtfLgMBSsSdjHtPIGukodPfgD204EDhLUvHpHCEDT2Pdc2oUP9j8UVj8JhAkzUy8845MTlxXKsB6Bd40xdpTPiI5H/s200/Guro-Guro+Aron.jpg
Guro-guro Aron adalah arena muda-mudi Karo untuk saling kenal dan sebagai lembaga untuk mendidik anak muda-mudi mengenal adat.
Dahulu acara ini dibuat sebagai salah satu alat untuk membudayakan seni tari Karo agar dikenal dan disenangi oleh muda-mudi dalam rangka pelestariannya.

Acara ini dilengkapi dengan alat-alat musik khas Karo yakni:
Sarune, gendang (singindungi dan singanaki), juga dari penganak.
Namun sangat disayangkan saat ini musik Karo ini mulai terdesak oleh alat musik keyboard.
Bukan hanya pada Guro-Guro Aron saja wabah musik keyboard ini melanda tapi sudah merambah pada pesta-pesta adat perkawinan.
Sepertinya pada setiap pesta perkawinan pun tanpa adanya musik keyboard tersebut pesta tersebut terasa hambar.

Kata “panger” berarti “langir” karena itu “erpanger” artinya adalah “berlangir”.
Namun pengertian erpanger dalam kepercayaan tradisional Karo bersifat religius (sakral).
Upacara erpanger dapat dilakukan sendiri dan dalam keadaan tertentu dibantu oleh guru (paranormal atau dukun).
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjUAyjk_IgeNGRicWFMGTPSCLfXaaQJZfgryVmpzZxfKspch0dgrHNC0C2NCR06hLONGDgXjz9ucgmUOQFWIEmMnJeqqFgObVe4thW3_qO6vRaLdwNmO_sWWXFmT7jVpMpGdCoABHF5j8du/s200/Sampul.jpg

Menurut Cuplikan Sejarah Penginjilan Kepada Masyarakat Karo 1890-2000 karya Dk.Em.P.Sinuraya,
kabar baik mulai melanda masyarakat Karo pada tahun 1890 sampai saat ini yang bermula dari Karo Jahe.
Sampai saat ini Kristenisasi didaerah masyarakat Karo maju pesat dan ini terbukti dari mayoritas masyarakt Karo beragama Kristen.
Didalam buku yang ditulis Dk.Em.P.Sinuraya tersebut diatas dikisahkan pada tahun 1911 masyarakat Karo di Kaban Jahe telah dibaptis sebanyak 70 orang,
salah satu tokoh Karo terkenal yang ikut dibaptis adalah Sibayak Pa Mbelgah (Sibayak Rumah Kaban Jahe).

Namun sangat disayangkan Sibayak Pa Mbelgah tak lama kemudian keluar dari gereja karena ada perbedaan/pertentangan pendapat antara Pa Mbelgah dengan pendeta.
Pada waktu itu sebagai raja ketika menerima tamu undangan biasanya disambut dengan gendang dan menari sebagai penghormatan terhadap tamu tersebut.
Ketika kebiasaan tersebut ditanyakan Pa Mbelgah kepada pendeta apakah dibolehkan atau tidak,
pendeta menjelaskan tidak boleh karena gendang tersebut dianggap mengandung unsur kekafiran, dan unsur kekafiran tidak boleh dikawinkan dengan agama Kristen.
Sangat disayangkan P.Sinuraya tidak menulis apa yang dimaksud dengan unsur-unsur kekafiran tersebut.

Pada tanggal 28 November 2008 yang lalu di pesta perkawinan putri Dr.Ir Djoni Tarigan di Jakarta,
Ev.Adil Sinulingga SH MA mewawancarai Pdt. Musa Sinulingga mengenai perubahan perubahan sikap GBKP yang semula melarang gendang dalam upacara adat Karo, tetapi saat ini sudah diperbolehkan.
Pdt. Musa Sinulingga memberi penjelasan awalnya pelarangan tersebut bersifat menyeluruh artinya dalam upacara adat tidak boleh ada gendang dan tarian,
tapi ketika memperingati 75 tahun (Jubleum) GBKP pada tahun 1965 hal tersebut diperlonggar dimana yang dilarang hanyalah mengenai gendang perumah begu, erpangir kulau dan yang lainnya yang dianggap berhubungan dengan roh-roh jahat.
Selama gendang dan tarian tersebut dianggap tidak berhubungan dengan roh-roh kegelapan maka hal tersebut tidak dilarang.

Dikatakan lebih lanjut bahwa sikap GBKP tersebut ternyata mendapat dukungan dari tokoh-tokoh adat karo,
sehingga dengan demikian mereka menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjodZ3L1qUWumviUuw12saJWHIjhMJUJD4hAAME6xGhXPGuNMjkpyAWCazIO_EQZNpkOye9QP0iyd45aW_NaZv3WRTTOlMDJlKJS8ayvy4zTLY5eRMXJRVsYbUXPAE8DijmEClDrvBhQrPt/s200/silsilah-brahmana.jpg
Pada abad 16, Seorang Guru Mbelin dari India bernama Megit Brahmana datang ke Tanah Karo.
Kedatangan Megit Brahmana ke Tanah Karo pertama kali ke kampung Sarinembah,
tempat seorang muridnya dulu di India berkasta Kstaria Meliala bermukim.
Brahmana disebut juga golongan Sarma atau tertinggi dalam kasta di India.

Bersama muridnya ini Megit Brahmana berangkat menuju kuta Talun Kaban (sekarang Kabanjahe)
dimana ada sebuah Kerajaan Urung XII Kuta yang rajanya adalah Sibayak Talun Kaban bermerga Purba.

Di daerah itu dia disambut hangat oleh Sibayak dan rakyatnya.
Megit Brahmana menuturkan pada Sibayak ingin menyebarkan agama pemena (baca : Hindu) di daerah itu.
Maksud kedatangan Megit dan muridnya ini disambut hangat oleh raja dan rakyatnya.
Di daerah itu pula Megit Brahmana kemudian disegani sebagai pemuka agama.
Sibayak lalu mengangkatnya sebagai penasehat pribadinya.

MEGIT BRAHMANA DAN GURU TOGAN RAYA

Suatu hari Sibayak menuturkan masalahnya pada Megit Brahmana kalau dia mempunyai permasalahan dengan Guru Togan Raya.
Tanah-tanah perladangan rakyatnya di kampung Raya dan Samura telah direbut oleh Guru itu.
Guru Togan Raya bermerga Ketaren adalah seorang dukun sakti yang disegani semua orang.
Dia berasal dari kampung Raya.
Namanya Togan berarti menentang siapa saja yang menghadangnya.
Guru itu mempunyai kerbau banyak.
Kemana saja kerbau yang digembalakannya pergi maka tanah itu menjadi miliknya.
Orang-orang yang punya tanah tidak berani menentangnya.
Siapa yang menentang berarti mati.

Sibayak mengharapkan bantuan Megit Brahmana untuk bernegoisasi dengan Guru Togan.
Megit Brahmana dan muridnya orang Meliala tersebut menyanggupinya.
Mereka lalu membuat tempat pemujaan di ladang-ladang rampasan Guru Togan Raya.

Suatu hari ketika sedang bersemedi, mereka bertemu Guru Togan Raya.
Mereka tidak ada saling berucap kata-kata namun menyatukan batin.
Mereka saling menghargai dan menghormati.
Ternyata setelah bertutur, Megit Brahmana dan Meliala adalah Anak Beru Guru Togan Raya.
Akhirnya mereka menyampaikan maksud tujuan mereka. Guru Togan Raya mengabulkannya.
Semua tanah perladangan Sibayak Talun Kaban dikembalikannya.

Semua orang Purba dan anak berunya menyambutnya dengan sukacita.
Sejak saat itu hubungan merga Purba dan Ketaren semakin harmonis.
Tempat pemujaan itu kemudian dinamakan Barung-Barung Berhala,
karena banyak patung-patung berhala pemujaan Guru Mbelin Mbelin Brahmana.
Sekarang Barung Berhala telah menjadi Kuta Berhala.


MECU, MBARU, MBULAN

Karena keinginan Sibayak agar kedua Guru Mbelin itu tidak pergi dari kampungnya Talun Kaban,
maka Sibayak mengawinkan mereka dengan gadis pilihan dari keluarganya.
Guru Mbelin Brahmana akhirnya mendapat 3 putra yang kemudian diberi nama Mecu, Mbaru, dan Mbulan.

Suatu hari Sibayak Talun Kaban dan pengawalnya berburu babi hutan.
Rombongannya menyusuri lembah lau Gurun dan sampai ke sebuah pokok kayu bernama ‘buah’.
Tiba-tiba anjing yang menyertai mereka mengonggong ke satu tempat.
Di situ ada seekor kepiting besar.
Sibayak melemparkan lembingnya dari bekas kepiting itu keluar air jernih, tempat itu kemudian dinamakan Lau Cimba Simalem.

Kemudian Sibayak Talun Kaban, memindahkan kampungnya dari Talun Kaban ke seberang jurang sungai Lau Cimba Simalem.
Kuta itu kemudian diberi nama Rumah Kabanjahe.
Kabanjahe artinya hilir kaban, karena kampung ini dihilir kampung Kaban dari merga Kaban.

Di kampung itu berdiri Rumah Derpih, Rumah Selat, Rumah Buluh, Rumah Galuh untuk putera-putera Sibayak.
Sementara Guru Mbelin Brahmana mendirikan rumah-rumah anaknya yang bernama Rumah Mecu, Rumah Mbaru, dan Rumah Mbulan.
Sementara Guru Mbelin Meliala mendirikan rumah anaknya di sebelah timur yang bernama Rumah Julu.
Lalu berdiri pula Rumah Jahe dari merga Purba Kuta Kepar.
Dan terakhir Rumah Bale juga dari merga Purba


MECU BRAHMANA DAN KETURUNANNYA

Mecu Brahmana mempunyai keturunan.
Keturunannya kemudian menyebar ke Bulan Julu dan Namo Cekala
Sedangkan di Rumah Mecu Kabanjahe keturunanannya mempunyai 4 rumah adat tetapi dibawah pengulu kesain Rumah Mbaru.


MBULAN BRAHMANA DAN KETURUNANNYA

Mbulan Brahmana mempunyai anak lelaki beberapa orang.
Salah satunya menjadi pengulu di kesain Rumah Mbulan Tanduk.
Rumah adatnya ada dua.

Salah seorang anak laki-lakinya yang paling sulung pergi merantau ke kaki Sinabung.
Disana dia kawin dengan seorang Beru Perangin-angin dan mendapat beberapa orang anak.
Suatu hari keluar dari sebuah lubang kerbau yang sangat banyak dan tidak habis-habisnya.
Putera Mbulan Brahmana bersama anak-anaknya kemudian menutup lubang itu,
dari lubang itu akhirnya tumbuh Buluh Kayan yaitu bambu yang bertuliskan aksara Karo.

Buluh Kayan bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit.
Orang-orang dari berbagai kuta berduyun-duyun datang ke kampung itu untuk berobat,
akhirnya kampung itu semakin ramai dan disebut Guru Kinayan yang berasal dari kata Guru Buluh Kayan.

Kemudian putra dari Brahmana di Guru Kinayan itu melanjutkan warisan bapanya sebagai Guru Kinayan.
Sementara bapanya akan melanjutkan perjalanan.
Mulai saat itu semua keturunannya disebut Sembiring Guru Kinayan.

Suatu saat datanglah musim kemarau.
Anak Mbulan Brahmana dan puteranya yang lain mendaki Gunung Sinabung untuk melihat daerah mana yang ada airnya.
Terlihat mereka sebuah kolam air di sebelah hilir Lau Biang.

Brahmana keturunan Mbulan itu melanjutkan perjalanannya ke kampung itu bersama anak laki-lakinya yang lain.
Sementara anak laki-lakinya yang menjadi dukun penyembuh tetap tinggal di Guru Kinayan.
Tibalah mereka di kampung Perbesi.
Anak laki-lakinya kawin dengan Perangin-angin Sebayang.
Keturunannyalah yang menjadi Brahmana Perbesi.

Brahmana keturunan Mbulan itu suatu hari menggembalakan kerbau-kerbaunya yang banyak dari Guru Kinayan dan mendirikan barung-barung di Limang.
Kerbau-kerbau yang digembalakannya bertambah banyak.
Akhirnya dia menetap di Limang.
Keturunannya kemudian menjadi Brahmana Limang.

Salah seorang keturunan Brahmana Perbesi pergi ke Kuta Buara dan bermukim disana.
Sementara keturunannya yang lain pergi ke Bekawar di Langkat dan kawin dengan gadis disana.
Keturunannyalah yang menjadi Brahmana Bekawar di Langkat Hulu.
Keturunannya mendiami kampung Salapian dan Bahorok.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj67mUKcbnq5RZlLQbiUtlvyfWGmuv5EGptFfNzQOEtOJfuJVokdEKbKjDeAW3QqhzxRDucnEJW6M5hEj6smyrrkQQdSvb4adTpi63Kd3d1I6a78RDnOCqPm_pZUKyAXokjjlz6ujdBKQD1/s200/Karonese.jpg
Kita terlebih dahulu diajak kembali kira-kira 100 tahun yang lalu.
Kondisi kehidupan masyarakat Karo pada saat itu masih cukup sederhana dalam segala aspek.
populasi penduduk belum ramai, perkampungan masih kecil, ada dua atau tiga rumah adat waluh jabu ditambah beberapa rumah sederhana satu dua.
Kalau sudah ada sepuluh rumah adat baru dapat dikatakan perkampungan tersebut ramai.

Sarana dan prasarana jalan belum ada, hanya jalan setapak yang menghubungkan satu kampung dengan kampung yang lain.
Kegiatan ekonomi dan perputaran uang hanya baru sebagian kecil saja.
Hanya pedagang yang disebut dengan “Perlanja Sira” yang sesekali datang untuk berdagang secara barter (barang tukar barang)

Pekerjaan yang dilakukan hanyalah kesawah dan keladang (kujuma kurumah),
ditambah menggembalakan ternak bagi pria dan menganyam tikar bagi wanita.
Pemerintahan yang ada hanya sebatas pemerintahan desa.
Kepercayaan yang ada adalah aninisme, dina-misme yang disebut “perbegu”.
Alat dapur yang dipakai masih sangat sederhana, priuk tanah sebagai alat memasak nasi dan lauk pauknya,
walau ada juga yang telah memasak dengan priuk gelang-gelang atau priuk tembaga/besi, tempat air kuran.

Namun demikian kehidupan berjalan terus, meneruskan generasi dilaksakan dengan orang yang sudah dianggap dewasa berkeluarga,
dikatakan dewasa bagi seorang pria adalah ketika dia telah dapat membuat ukat, kuran atau membuka ladang,
bagi wanita telah dapat menganyam tikar dan memasak nasi dan lauk pauk.

Proses Pernikahan
Proses ataupun tahapan yang akan dilaksanakan bila ingin berkeluarga pada pria dewasa dinamai “Anak Perana” dan wanita dewasa dinamai “Singuda-nguda”.
Ada lima tahapan yang harus dijalankan yaitu :

1. Naki-naki
Anak Perana yang ingin menikah terlebih dahulu mencari seorang singuda-nguda, yang dianggapnya cocok, tidak sumbang (tidak satu satu marga), tetapi harus sesuai dengan adat Karo.
Melakukan komunikasi melalui perantaraan, sampai ada kesediaan siwanita menerima kehadirannya.

2. Maba Nangkih
Jika sudah saling menyukai, diteruskan dengan membawa siwanita “Nangkih” ke rumah anak beru si pria.
Sebagi tanda melalui perantara diberikan ‘Penading” kepada orang tua si wanita.
Orang tua si wanita seolah-olah kaget menerimanya, seakan mereka tidak tahu dan tidak menyetujuinya, dan seterusnya.
Namun demikian dua atau tiga hari kemudian beberapa orang ibu-ibu menemani ibu si wanita menghantarkan nasi/makanan kepada anaknya.
Melakukan pembicaraan dengan pihak pria mengenai kelanjutannya, dan seterusnya.

3. Ngembah Belo Selambar
Setelah dilakukan pembicaraan dengan yang baik antara kedua belah pihak,
selanjutnya pihak pria mendatangi pihak keluarga si wanita bersama sembuyak, senia dan anak berunya,
demikian pula pihak wanita bersama sembutyak, senina dan anak berunya telah bersiap menyambut kedatangan pihak pria.
Yang datang terbatas, cukup membawa satu atau dua ekor ayam untuk dugulai dan beras secukupnya.
Biasanya malam setelah selesai makan dilaksanakan pembicaraan atapun musyawarah (runggu)
isinya hanya satu yaitu meminta kesediaaan dengan senang hati dari orang tua si wanita dalam keinginan anaknya menikah,
tentunya ikut juga dukungan dari anak beru, bila sudah bersedia dan dengan senang hati orang tua siwanita (kalimbubu) acar tersebut telah selesai.
Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, keesokan harinya pihak si pria beserta kedua calon pengantin dapat langsung pulang.

4. Nganting Manuk
Biasanya acara ini dilaksanakan pada saat pekerjaan tidak begitu sibuk, padi telah dipanen sekali.
Pembicaraan ini harus dihadiri lebih lengkap dan lebih penting.
Singalo bere-bere harus dipanggil, lengkap sangkep ngeluh. Makanan lebih banyak dibawa (boleh kambing atau babi),
tidak lagi hanya ayam. Melihat bentuk pertemuan dan kesanggupan dan kehormatan pihak yang datang.
Waktunya boleh malam hari atau pagi menjelang siang hari.
Banyaknya yang hadir kira-kira memenuhi rumah adapt ataupun sekitar 2 -3 kaleng beras untuk dimasak.
Dalam acara ini yang dibicarakan adalah mengenai pelaksanaan pesta adat, kapan waktunya,
berapa yang harus titangngung dan berapa utang adat yang harus dibayarkan.

Tingkatan Pesta ada tiga pilihan yaitu ;
Singuda, pesta adatnya dilakukan dirumah saja,
Sintengah, bila kumpul seluruh sanak family,
Sintua, bila ditambah pengantin rose, (berpakaian adat lengkap) ergendang (musik tradisional) dan memotong lembu atau kerbau.
Tanggungan pihak pengantin pria, seperti pembayaran utang adapt tentunya disesuaikan dengan tingkatan pestanya adatnya.
Dikarenakan telah didapat kesepakatan untuk melaksanakan pesta adat, maka ditanyalah kalimbubu singalo bere-bere,
apa yang akan menjadi hadiah perkawinan (luah/pemberian) yang akan diserahkan sebagai tanda restu kepada beberenya yang akan menikah.

Tentunya hal ini akan ditanyakan terlebih dahulu kepada beberenya, apa keinginannya, dan keinginan ini tidak dapat tidak disampaikan/disetujui.
Mama si wanita akan memerintahkan kepada turangnya (ibu si wanita) agar menyediakan permintaan tersebut.
Pada Nganting Manuk ini juga ditetapkan belin gantang tumba, banyaknya makanan yang harus dipersiapkan.
Biasanya pesta dilaksanakan setelah selesai panen.

5. Kerja Adat Perjabun
Ini adalah tahapan terakhir mensyahkan telah diselesaikan adapt pernikahan.
Telah syah menjadi satu keluarga yang baru.
Semua akan berkumpul pada pesta adat seperti yang telah disepakati bersama.
Dahulu tempat pesta tidak ada dirumah pasti tidak muat jadi pesta dilaksanakan di tempat lapang atau dibawah kayu rindang.
Bila pada saat pesta panas terik maka anak beru kedua belah pihak akan mendirikan tempat berteduh yang terbuat dari kayu, daun rumbia atau daun/pelepah kelapa.
Tikar tempat duduk dan kayu bakar telah dipersiapkan oleh pihak siwanita.
Dikarenakan pada saat itu fasilitas apapun tidak ada, maka diminta kepada penduduk desa untuk memasak makanan,
masing-masing 2-3 tumba berikut dengan sumpitnya (tempat nasi) dan membawanya ketempat pesta dilaksanakan.

Lauk pauk (daging) langsung dibagi lima, dua bagian untuk pihak pria,
dua bagian untuk pihak wanita dan satu bagian untuk singalo bere-bere.
Jadi jelaslah bagi kita bahwa ketiga komponen inilah yang berperan penting.
Sukut si empo (pihak pria) bersama sangkep nggelunya, begitu juga pihak wanita.
Tidak ketinggalan singalo bere-bere bersama sangkep nggeluhnya inilah yang disebut dengan Kalimbubu Si Telu Sedalanen (hal ini akan kita bicarakan dilain waktu)

Masing-masing ketiga kelompok ini membawa anak berunya untuk menyiapkan makanan seperti yang telah dibagikan tadi.
Jika kalimbubu si ngalo ulu emas dari pihak pria, boleh tidak hadir disitu, akan didatangi dikemudian hari untuk membayar utang adat.
Pada waktu dulu tidak ada pidato-pidato seperti sekarang ini, kalimbubu singalo bere-bere memberikan hadiah dan doa restunya.
Untuk mensyahkan pernikahan menurut adat telah selesai, selanjutnya akan dijalankan terlebih dahulu “si arah raja”,
ini ditangani oleh Pengulu atau Pemerintah, besarnya Rp. 15,- uang perak, dinamakan si mecur,
diberikan kepada seluruh komponen yang berhak menerima, ulu emas, bena emas, perkempun, perbibin, perkemberahen, dan lainya.
Setelah itu Rp. 60,- uang perak unjuken untuk pihak si wanita,
selebihnya dinamakan tepet-tepet dijalankan oleh anak beru kedua belah pihak saja.


Pesta Pernikahan terbagi atas tiga jenis :
Kerja Erdemu Bayu, bila jumpa impal, ngumban ture buruk, jumpa kalimbubu ayah, kembali kepada kampahnya bila jumpa kalimbubu nini.
Kerja Petuturken, jumpa kelularga yang baru, terlebih dahulu bertutur.
Kerja Ngeranaken, bila ada yang harus dimusyawarahkan, misal tuturnya turang impal, tutur sepemeren, ada yang harus diperbaiki sabe ataupun denda, nambari pertuturen.


Demikianlah sekilas Kronologis "Proses Pernikahan pada Suku Karo dan Pesta Adatnya, pada zaman dulu".
hal ini sebagai kilas balik sesuai dengan zamanya.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiDlHdtL0kGojtxzqCo3aFn42sKpnSnpqkECBuQ_TAsCq_YXifRz_mIpVnaqIns-z3vPd1VSkwVYfbEayPhuA4xFFyiT1GQjKUw2X1xiR_7WFxwlptW4s2AE3JQqH4LALc4xqEtqjGFoIBT/s200/Kerja+Tahun.jpg

Merdang Merdem atau Kerja tahun adalah sebuah perayaan suku Karo di Kabupaten Karo.
Konon merdang merdem tersebut merupakan kegiatan rutin setiap tahun yang biasanya dilaksanakan setelah acara menanam padi di sawah selesai.
Perayaan tersebut merupakan bagian dari ucapan syukur kepada sang Pencipta karena kegiatan menanam padi telah selesai.

Teriring doa agar tanaman padi tersebut diberkati sehingga bebas dari hama dan menghasilkan panen yang berlimpah.
Momen yang melibatkan seluruh warga kampung tersebut biasanya juga dimanfaatkan muda-mudi sebagai ajang mencari jodoh.
Setiap acara merdang merdem biasanya dimeriahkan dengan gendang guro-guro aron yaitu acara tari tradisional Karo yang melibatkan pasangan muda-mudi.
Setiap kecamatan di Tanah Karo merayakan merdang merdem pada bulan yang berbeda.
Kecamatan Munte merayakan merdang merdem pada hari ke-26 beraspati medem kalender Karo yang biasanya jatuh di bulan juli.
Konon, pesta sekampung tersebut sebegitu meriahnya sehingga lama perayaannya sampai enam hari dimana setiap hari mempunyai makna yang berbeda.


* Hari pertama, cikor-kor.
Hari tersebut merupakan bagian awal dari persiapan menyambut merdang merdem yang ditandai dengan kegiatan mencari kor-kor, sejenis serangga yang biasanya ada di dalam tanah.
Umumnya lokasinya di bawah pepohonan.
Pada hari itu semua penduduk pergi ke ladang untuk mencari kor-kor untuk dijadikan lauk makanan pada hari itu.

* Hari kedua, cikurung.
Seperti halnya pada hari pertama hari kedua ditandai dengan kegiatan mencari kurung di ladang atau sawah.
Kurung adalah binatang yang hidup di tanah basah atau sawah, biasa dijadikan lauk oleh masyarakat Karo.

* Hari ketiga, ndurung.
Hari ketiga ditandai dengan kegiatan mencari nurung, sebutan untuk ikan, di sawah atau sungai.
Pada hari itu penduduk satu kampung makan dengan lauk ikan.
Ikan yang ditangkap biasanya nurung mas, lele yang biasa disebut sebakut, kaperas, belut.

* Hari keempat, mantem atau motong.
Hari tersebut adalah sehari menjelang hari perayaan puncak.
Pada hari itu penduduk kampung memotong lembu, kerbau, dan babi untuk dijadikan lauk.

* Hari kelima, matana.
Matana artinya hari puncak perayaan.
Pada hari itu semua penduduk saling mengunjungi kerabatnya.
Setiap kali berkunjung semua menu yang sudah dikumpulkan semenjak hari cikor-kor, cikurung, ndurung, dan mantem dihidangkan.
Pada saat tersebut semua penduduk bergembira.
Panen sudah berjalan dengan baik dan kegiatan menanam padi juga telah selesai dilaksanakan.
Pusat perayaan biasanya di alun-alun atau biasa disebut los, semacam balai tempat perayaan pesta.
Acara disitu dimeriahkan dengan gendang guro-guro aron dimana muda-mudi yang sudah dihias dengan pakaian adat melakukan tari tradisional.
Perayaan tidak hanya dirayakan oleh penduduk kampung tetapi juga kerabat dari luar kampung ikut diundang menambah suasana semakin semarak.
Pada hari itu pekerjaan paling berat adalah makan.
Karena setiap kali berkunjung ke rumah kerabat aturannya wajib makan.

* Hari keenam, nimpa.
Hari itu ditandai dengan kegiatan membuat cimpa, makanan khas Karo, biasa disebut lepat.
Cimpa bahan dasarnya adalah tepung terigu, gula merah, dan kelapa parut.
Cimpa tesebut biasanya selain untuk hidangan tambahan setelah makan.
Tidak lengkap rasanya merdang merdem tanpa kehadiran cimpa.
Untuk kecamatan lain di Tanah Karo kegiatan nimpa diganti dengan ngerires yaitu acara membuat rires yang dalam bahasa indonesia disebut lemang.
Cimpa atau lemang daya tahannya cukup lama, masih baik untuk dimakan meski sudah dua hari lamanya.
Oleh karena itu cimpa atau rires cocok untuk dijadikan oleh-oleh bagi tamu ketika pulang.

* Hari ketujuh, rebu.
Hari tersebut merupakan hari terakhir dari serangkaian pesta enam hari sebelumnya.
Pada hari tersebut tidak ada kegiatan yang dilakukan.
Tamu-tamu sudah kembali ke tempat asalnya.
Semua penduduk berdiam di rumah. Acara kunjung-mengunjungi telah selesai.
Pergi ke sawah atau ladang juga dilarang pada hari itu.
Seperti halnya arti rebu itu sendiri yang artinya tidak saling menegur, hari itu adalah hari penenangan diri setelah selama enam hari berpesta.
Beragam kesan tinggal melekat dalam hati masing-masing penduduk kampung.
Hari besok telah menanti untuk kembali melakukan aktifitas sebagaimana hari-hari biasanya.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiNXnuV4S5Qa11FTtMqiCgu9ukqEGNzwZtwPQ_pc8Ym9x1Dgqt9AHghYOyVnI0jwhuC7kmZVrjIGTkyWEpO7WGrM9XIMEjx0z4-bb9wZtPZctEHtsmt62RTxCKFBnnE9VGSvF4HfpM1atsA/s200/Piso+Surit.jpg
Piso dalam bahasa Karo sebenarnya berarti pisau dan banyak orang mengira bahwa Piso Surit merupakan nama sejenis pisau khas orang karo. Sebenarnya Piso Surit adalah nama sejenis burung yang suka bernyanyi. Kicau burung ini bila didengar secara seksama sepertinya sedang memanggil-manggil seseorang dan kedengaran sangat menyedihkan.

Tarian Piso Surit adalah tarian yang menggambarkan seorang gadis yang sedang menantikan kedatangan kekasihnya. Penantian tersebut sangat lama dan menyedihkan dan digambarkan seperti burung Piso Surit yang sedang memanggil-manggil.

Lagu Piso Surit Diciptakan Oleh
Djaga Depari salah seorang tokoh masyarakat karo sekaligus komponis nasional pada masa orde lama.
Powered By Blogger