Jumat, 29 Oktober 2010

Ayat Ayat Cinta (the movie)

Ayat Ayat Cinta (the movie)
for everyone
Category: Movies
Genre: Romance
Saya cuma penikmat dan bukan pengamat film. Maka jika mematokkan pikiran Anda pada ulasan saya ini sebelum menonton filmnya, bisa dikatakan kalau Anda telah melakukan sebuah kesalahan kecil dalam menikmati seni. Karena seni -dan film sebagai bagian darinya- adalah bicara soal rasa. Menikmatinya bukan melulu dengan otak tapi baru dikatakan tepat caranya bila Anda kosongkan dulu keotentikan rasa di hati dari rasa dan pikiran milik orang lain.

Novel Ayat Ayat Cinta adalah salah satu novel favorit yang pernah saya baca. Menyelami setiap kalimat yang dirangkai oleh Kang Abik mampu menyentuh semua rasa yang ada dalam hati hingga menghadirkan setitik air mengalir dari indra pelihat saya. Terkagum sangat dibuatnya tapi bukan pada Fachri sang tokoh utama karena buat saya ia yang nyaris tanpa cela cuma ada dalam dongeng. Hampir dipastikan akan lelah sendiri jika mencari Fachri dalam kehidupan nyata. Too good to be true kalau orang bule bilang.

Kekaguman saya ada pada kemampuan penulisnya. Dengan kekuatan kata-katanya mampu menghadirkan Islam yang sesungguhnya, sebuah keindahan yang membawa damai, penghormatan serta cinta kasih pada sesama manusia. Ditengah keributan antar umat yang katanya beragama di negeri ini, AAC hadir seperti oase yang menyejukkan hati saya, memperkuat jiwa bahwa tidak ada yang salah dengan agama yang saya anut dan tidak boleh ada keraguan sedikitpun dalam keimanan. Seperti puisi indah yang menjadi carut marut karena interpretasi yang tidak tepat, maka seperti itulah Islam yang telah dicampuradukkan oleh kehausan akan kuasa dan kesombongan akan digdaya. Bagi Anda yang telah membaca novelnya pasti sepakat dengan hal itu.

Saya berhasil menjauhkan diri dari review orang lain ketika memutuskan untuk menikmati kisahnya dalam versi layar lebar namun untuk melepaskan diri dari keistimewaan novel AAC itu amat sulit. Padahal untuk melihat sebuar karya adaptasi seharusnya itu yang saya lakukan. Tapi tidaklah mudah karena ia sudah ada dan melekat dalam memori di otak. Seperti mencari sesuatu pada 'search engine' maka ketika kata kunci Ayat Ayat Cinta disebutkan, otak saya akan langsung otomatis mere-call nya dari memori. Keindahan dan keistimewaan novelnya serta merta akan turut juga bersama terpanggil.

Saat mata, otak dan hati saya menyaksikkan versi layar lebar dari novel AAC ini jujur saya tidak terpuaskan. Seperti melihat Ayat Ayat Cinta versi Bollywood yang sebetulnya tidak ada kisah secuilpun tentangnya di dalam novel. Beberapa adegan nampak sangat terasa ke-india-annya. Juga dengan setting tempat yang makin menambah keras suara gaib yang menyadarkan saya "hei bangun, tak usah repot kamu bandingkan dengan novelnya, ikuti saja irama film ini dan ikuti ia hingga selesai". Dan hati saya menjawab "ok, ok, akan saya usahakan menyuruh diam memori otak yang terus berontak dan teriak 'mana keindahan Islam di novel itu? kemana perginya kekuatan aura kisah di novel? tidakkah kamu liat film ini sangat berbau iklan komersil botol2x teh itu? kamu bilang ini adaptasi? huwalaah neeeng tinaaa ini cuma film romansa yang seolah-olah (memori saya menekankan kata seolah-olah) ber-setting timur tengah yang menampilkan seorang lelaki yang ngekos ramai2 dengan teman2x sekampung yang tengah kebingungan harus memilih salah satu dari wanita-wanita yang mengejarnya'......" .

Meski begitu akhirnya ada satu hal yang berhasil menyentuh rasa saya -jikalau air mata adalah patokannya. Adegan ketika Aishah -istri pertama Fachri- yang dengan berat hati meminta sang suami untuk menikahi Maria -gadis Mesir Kristen Koptik- demi terselamatkannya semua pihak. Saat itu saya menitikkan air mata, entah karena acting para actor yang berhasil, entah karena kekuatan dialognya pada saat adegan itu, atau karena saya tengah menempatkan diri pada posisi Aishah maka saya menangis? Aaaah......tiap perempuan pastilah akan meneteskan air mata bila dihadapkan pada situasi harus berbagi cinta dengan perempuan lain. Yaaaa...mungkin karena itu air mata saya menetes. Hampir bersamaan saya melihat para penonton perempuan melakukan gerakan menghapus air mata dengan serentak. ;-))

Saya memang penikmat, bukan pengamat apalagi pelaku film. Maka sebagai penikmat film saya tak mau kompromi pada alasan durasi, tak mau mengerti kenapa kamera sering men-zoom botol2x teh hijau itu, protes pada kedangkalan cerita yang mengaburkan cerita aslinya, mencibir pada ke-india-an film yang terlalu kentara, sok mengkritik acting para pemerannya. Karena saya bukan pengamat maka sah-sah saja saya berkomentar seperti ini. 'Kan sudah saya peringatkan di awal bagi Anda yang ingin menonton adalah sebuah kesalahan jika mematokkan pikiran Anda pada ulasan saya ini. Sekali lagi ini bicara soal rasa, maka apa yang saya rasakan bisa berbeda hasilnya dengan Anda.

Selamat menonton!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger